Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia dibayangi kenaikan bunga. Banyak yang memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan segera menaikkan bunga karena Inflasi yang merangkak naik.
Pada bulan Juni, inflasi tercatat di level 4,35% secara year on year (yoy), atau yang tertinggi sejak Juni 2017 silam. Level tersebut juga berada di luar target Bank Indonesia (BI) sehingga banyak yang memperkirakan kenaikan suku bunga sudah di depan mata.
Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana mengatakan, BI harus menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli ini. Menurutnya selain inflasi yang sudah di atas target, pelemahan yield SBN, terjadinya capital outflow di pasar keuangan, hingga rupiah yang pelemahannya semakin dekat ke Rp 15.000 juga membuat BI harus segera bertindak.
“Apalagi kan bank sentral global juga sudah agresif menaikkan suku bunga dan membuat spread dengan Indonesia semakin menyempit. Jadi kenaikan suku bunga BI7DRR justru diperlukan dan bisa menjadi hal yang positif,” kata Fikri kepada Kontan.co.id, Selasa (5/7).
Baca Juga: Kenaikan Inflasi dan Suku Bunga Membayangi Prospek Pasar Obligasi Tahun Ini
Menurut Fikri, naiknya BI7DRR akan membuat pergerakan rupiah lebih terjaga dan yield SBN juga bisa lebih tertahan. Hanya saja, yield SBN yang di bawah 10 tahun berpotensi tertekan ketika suku bunga resmi naik. Tapi, secara keseluruhan hal tersebut bisa memberi dampak positif ke investor domestik karena stabilnya rupiah dan yield.
Sementara Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto justru melihat BI belum akan menaikkan suku bunga pada Juli ini. Ia berkaca dari pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo yang menyebut akan mengutamakan kebijakan moneter lainnya terlebih dahulu sebelum menaikkan suku bunga acuan.
Ramdhan memperkirakan, kenaikan suku bunga berpotensi baru akan terjadi pada Agustung mendatang. Tapi ia sendiri meyakini menaikkan suku bunga acuan adalah hal yang harus segera dilakukan untuk menyeimbangkan dengan suku bunga bank bank sentral lainnya.
“Kemungkinan, suku bunga naiknya hanya akan 25 bps karena inflasi Indonesia belum setinggi inflasi global. Alhasil, pasar obligasi mungkin akan tertekan, tapi tidak akan terlalu lama mengingat fundamental makro ekonomi Indonesia masih cukup solid,” tambah Ramdhan.
Ramdhan menilai, downside di pasar SBN saat ini sudah cenderung terbatas mengingat posisi asing di SBN yang sudah semakin minim. Alhasil, tidak akan ada outflow besar-besaran yang pada akhirnya bisa menekan yield SBN lebih jauh. Oleh karena itu, menurutnya penting BI bisa membuat investor domestik lebih confidence, salah satunya dengan menstabilkan pasar.
Ke depan, Fikri melihat sentimen utama yang akan pengaruhi pasar obligasi adalah pergerakan inflasi. Pasalnya, hal ini akan menentukan langkah berbagai bank sentral ke depannya. Jika inflasi bisa diredam dan terkendali, maka bank sentral tidak perlu lagi agresif.
“Jadi, sebaiknya investor masih perlu berhati-hati terlebih dahulu dan wait and see dengan kondisi saat ini,” ujar Fikri.
Ia memperkirakan, skenario terburuk untuk yield SBN acuan 10 tahun akan bergerak ke 8,2% pada akhir tahun nanti, tapi untuk skenario optimistis bisa ke 7,4%. Ia pun menyebut rentang tengah yield SBN akan ada di 7,8%.
Sementara Ramadhan memproyeksikan, skenario terburuknya akan ada di kisaran 7,9-8,0%. Sementara untuk skenario optimistis ada di kisaran 7% jika investor asing memutuskan untuk kembali masuk ke pasar SBN lagi.
Baca Juga: Outlook Pasar Saham dan Obligasi Masih Volatile Dalam Jangka Pendek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News