Reporter: Emir Yanwardhana | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Dibukanya keran ekspor mineral mentah termasuk biji nikel dikhawatirkan pasar dapat mengganggu kinerja PT Vale Indonesia Tbk (INCO) tahun ini. Makanya pasar cukup merespon dengan penurunan harga saham sebesar 1,4% menjadi Rp 2.780 per saham dari penutupan tahun 2016 sebesar Rp 2.820 per saham.
Namun beberapa analis masih meyakini INCO dapat tumbuh pada tahun ini. Melihat sentimen global yang cukup menjaga harga nikel rata-rata dikisaran US$ 11.000 per ton di pasar London Metal Exchange (LME).
Mengutip data Bloomberg Jumat (17/2), harga nikel di London Metal Exchange (LME) kontrak tiga bulanan melemah tipis 0,18% menjadi US$ 11.050 per ton dari perdagangan sebelumnya. Tapi dalam sepekan harga nikel menguat 2,98% dari perdagangan Senin (13/2) di level US$ 10.730 per ton.
Analis Ciptadana Securities Kurniawan Sudjatmiko mengatakan harga nikel sempat diguncang pada Januari kemarin, saat Pemerintah mencabut larangan ekspor biji nikel. Hal ini akan berimbas pada suplai biji nikel yang mencapai 5,2 juta ton tahun ini.
“Tapi kemungkinan tidak ada lagi sentimen negatif terhadap harga nikel, hanya makanya kemungkinan harga bertahan di level US$ 11.000 – US$ 12.000 per ton tahun ini,” katanya kepada KONTAN, Senin (20/2).
Melihat Filipina juga masih menahan untuk melakukan produksi nikel, serta permintaan dari Amerika dan China yang diprediksi meningkat. Sehingga pada tahun ini kinerja INCO kemungkinan masih berpotensi untuk tumbuh.
Kurniawan mengatakan rata-rata harga jual nikel (ASP) INCO juga sudah meningkat, mencapai US$ 9.865 per ton di saat harga nikel di LME dikisaran US$ 10.536 per ton, atau naik 6,8% dari kuartal III dikisaran US$ 9.865 per ton.
Sementara Analis Trimegah Securities Willinoy Sitorus mengatakan pengaruhnya relaksasi ekspor mineral mentah tidak sebanding dengan penurunan produksi dari Filipina mencapai 50%.
Dibukanya ekspor ini tidak akan membawa suplai yang tinggi ke China seperti yang terjadi pada tahun 2011-2013 silam. ”Dimana kelebihan pasokan terjadi, sehingga produksi stainless steel dikurangi,” kata Willnoy.
Ekspektasinya pasokan global hanya bertambah 4% atau sekitar 5 juta ton tahun ini dari sebelumnya tidak melakukan ekspor. Sementara Filipina juga sudah berkomitmen memotong produksi mencapai 50% tahun ini mencapai 212.000 kilo ton, yang berdampak memangkas 10% suplai global.
Sehingga secara pendapatan, INCO pada tahun ini masih diprediksi tumbuh 45% menjadi US$ 861 juta dari tahun 2016 sebesar US$ 592,8 juta. Sementara laba bersih perusahaan diprediksi naik menjadi US$ 159,3 juta dari tahun 2016 sebesar US$ 4 juta.
Willinoy mengatakan dengan penurunan harga saham yang saat ini terjadi, seharusnya bisa melakukan akumulasi pembelian saham INCO di target harga Rp 2.840 per saham.
Sementara Kurniawan masih mempertahankan rekomendasi hold di target harga Rp 2.650 per saham melihat masih adanya potensi volatilitas harga komoditas nikel global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News