kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

2017, INCO alokasikan belanja modal US$ 90 juta


Jumat, 20 Januari 2017 / 08:26 WIB
2017, INCO alokasikan belanja modal US$ 90 juta


Reporter: Hasyim Ashari | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengalokasikan modal kerja atau capital expenditure (capex) tahun ini berkisar US$ 80 juta hingga US$ 90 juta. INCO akan menggunakan dana itu untuk upgrade dan optimalisasi aset.

Presiden Direktur INCO Nico Kanter menyebutkan, upgrade dan optimalisasi aset ini dilakukan dalam upaya meningkatkan kapasitas produksi pabrik pengolahan di Sorowako, Sulawesi Tengah. "Kemudian untuk penggantian alat berat dan pembaruan mesin," ujar dia kepada KONTAN, beberapa waktu lalu.

Dana belanja modal tersebut, menurut Nico, belum memperhitungkan rencana pembangunan pabrik tambang di Bahodopi dan Pomalaa. Sebab, di kedua pabrik ini, INCO masih mencari mitra yang dapat bekerjasama merealisasikan proyek dengan teknologi yang lebih murah.

Selain itu, INCO mencari mitra yang memiliki komitmen pendanaan kuat. "Setelah proses penunjukan rekanan dan negosiasi selesai, baru angka investasi diumumkan," ungkap dia.

INCO tidak bisa mengemukakan target pendapatan dan laba bersih tahun ini. Sebab, hal tersebut dipengaruhi harga nikel yang sangat fluktuatif dan di luar kontrol perusahaan. Apalagi, saat ini pemerintah membuka kembali izin ekspor bijih nikel. Hal ini tentu berdampak negatif pada industri nikel yang tengah berkembang di Indonesia.

Setelah terbitnya peraturan ini, harga nikel langsung turun. Penurunan diperkirakan akan berkepanjangan. Proyeksi penurunan ini bisa berdampak langsung pada pendapatan perusahaan smelter di Indonesia dan pendapatan pemerintah dari sektor nikel.

"Bersamaan dengan itu, kewajiban menyerap bijih dengan kadar rendah akan meningkatkan unit biaya produksi smelter yang mengakibatkan operasional smelter menjadi kurang kompetitif," kata Nico.

Hingga September tahun lalu, INCO menyerap belanja modal sekitar US$ 50 juta. Hingga akhir 2016, realisasi belanja modalnya diperkirakan berkisar US$ 60 juta hingga US$ 70 juta.

Analis NH Korindo Securities Bima Setiaji menilai, peraturan baru tentang pelonggaran larangan ekspor bijih nikel kadar rendah turut menekan harga nikel hingga di bawah US$ 10.000 per ton.

Namun Bima tidak khawatir dengan prospek INCO. Sebab, emiten ini konsisten mengurangi beban operasional dan meningkatkan margin. "INCO juga konsisten menekan biaya produksi," tutur dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×