Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membatalkan perjanjian kerjasama pengelolaan air antara PT PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) yang sudah berlangsung sejak 1997. Hal ini lantaran kerjasama tersebut dinilai merugikan PAM Jaya dan negara.
Pengelolaan sumber daya air oleh pihak swasta bukan kali ini menjadi masalah. Sebelumnya, pada Februari lalu Mahkamah Agung telah menghapus UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Penghapusan tersebut berdasarkan atas permohonan yang diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dkk. Para pemohon menilai penerapan pasal-pasal dalam UU SDA dapat membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA. Akibatnya dapat merugikan masyarakat sebagai pengguna air.
Kedua keputusan tersebut akan semakin membatasi laju bisnis para pengelola air swasta. Putusan ini juga menjadi pengingat bagi pihak swasta dalam memanfaatkan segala sumber daya yang ada di tanah air, seperti air, minyak, gas, batubara, dan sumber daya lainnya.
Ada banyak pihak swasta yang menjadi pengelola sumber daya tersebut. Selain Palyja dan Aetra, PT Nusantara Infrastructure Tbk (META) juga memiliki bisnis pengelolaan air. Kemudian PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) mengelola distribusi gas dan PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) sebagai penyedia energi terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Kepala Riset MNC Securities, Edwin Sebayang mengatakan, pengelolaan sumber daya selama ini dilakukan dengan skema kerja sama antara pemerintah dengan swasta. Sepanjang tidak saling merugikan atau tidak ada kontrak yang dilanggar, maka keberlangsungan kerjasama tersebut tidak akan bermasalah.
Menurut Edwin, kesepakatan kerjasama antara pemerintah dengan swasta tergantung masing-masing kasus. Misalnya, pada kerjasama antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia. Dalam hal ini, Edwin menilai pemerintah tidak berdaya mesti dirugikan. "Semua tergantung dari tawar-menawar pada saat kerjasama. Oleh karena itu, kontrak kerjasama tidak bisa disamaratakan," ujar Edwin.
Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo mengatakan, campur tangan pihak swasta dalam pengelolaan sumber daya di dalam negeri sangat beragam dan ada di semua sektor. Pengelolaan sumber daya tersebut memang seharusnya tidak boleh menguntungkan salah satu pihak. Namun, nyatanya banyak pihak swasta yang hanya memikirkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Adanya undang-undang baru terkait pengelolaan sumber daya air, maupun sumber daya lain nantinya tidak serta merta mematikan usaha pihak swasta. Apalagi, para emiten infrastruktur pengelola sumber daya rata-rata memiliki banyak segmen usaha. "Kita lihat nanti, selama belum ada penertiban dan tidak ada yang mempermasalahkan maka tidak akan berpengaruh," lanjut Satrio. Namun, hal ini bisa menjadi peringatan pada pengelola dari pihak swasta yang selama ini berlaku curang.
Managing Patner Investa Saran Mandiri, Kiswoyo Adi Joe menambahkan, investasi untuk bisnis pengelolaan air minum tergolong besar. Maklum, pengelola membutuhkan dana cukup besar terutama untuk membangun pipa penyaluran air hingga rumah-rumah. Di sisi lain, pengelola tidak dapat bebas menaikan tarif karena akan memberatkan masyarakat. Padahal , dengan tarif saat ini untung yang didapat pengelola terbilang kecil.
Meski demikian, Kiswoyo menilai efek peratura mengenai SDA terbilang kecil bagi emiten infrastruktur. Grup Astra sebagai salah satu pemegang saham di Palyja memiliki bisnis utama di sektor otomotif. Sementara META memiliki bisnis utama di bidang jalan tol.
Peraturan mengenai pengelolaan SDA juga belum pasti merembet ke sumber daya lainnya. "Kita saat ini wait and see dulu , tergantung pemerintah nanti bagaimana," kata Kiswoyo. Saat ini Kiswoyo menilai prospek emiten di sektor infrastruktur masih terbilang positif, kecuali air minum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News