Reporter: Nur Qolbi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Moody's Investor Service memberikan outlook negatif untuk industri perbankan di wilayah Asia Pasifik selama 12 bulan ke depan. Moody's menilai, perang dagang Amerika Serikat (AS)-China dapat melemahkan ekonomi dan aktivitas perdagangan di regional tersebut.
Vice President and Senior Credit Officer Moody's Eugene Tarzimanov mengatakan, pelemahan ekonomi dan aktivitas perdagangan ini dapat meningkatkan jumlah pinjaman bermasalah. "Sementara itu, profitabilitas bank akan turun karena mereka menaikkan provisi kredit sementara bank sentral memangkas suku bunga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," ucap dia dalam laporan tanggal 9 Desember 2019.
Baca Juga: Ada saham yang anjlok lebih dari 90% sejak awal tahun, ini penyebabnya
Meskipun begitu, Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma berpendapat, peningkatan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) karena pelemahan ekonomi adalah hal yang wajar. Terlebih lagi, NPL industri perbankan dalam negeri yang saat ini masih di bawah 3% masih tergolong cukup bagus.
Justru, menurut dia, yang menjadi masalah utama industri perbankan dalam negeri saat ini dan ke depannya bukanlah peningkatan NPL, melainkan likuiditas yang sudah cukup ketat. "LDR (loan to deposit ratio) perbankan rata-rata sudah 94%. Jadi susah menyalurkan kredit. Apalagi, LDR Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III sudah di atas 100%," ungkap dia saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (11/12).
Masalah lainnya adalah kredit perbankan belakangan ini tidak banyak disalurkan ke sektor-sektor bisnis utama Indonesia, seperti perdagangan, perkebunan, dan industri pengolahan. Kredit perbankan lebih banyak diperuntukkan ke sektor konstruksi dan infrastruktur.
Hal ini menjadi masalah karena hanya bank-bank dengan modal yang kuat yang bisa menyalurkan kredit ke dua sektor tersebut. Dengan begitu, penyaluran kredit secara industri turut melambat.
Baca Juga: Melemah tipis 0,06% pada Rabu (11/12), begini prediksi IHSG untuk Kamis (12/12)
Ditambah lagi, industri perbankan belakangan ini agak sulit dalam menghimpun dana pihak ketiga (DPK) karena pemerintah gencar menerbitkan obligasi negara. "Itu jadi pesaing perbankan dalam mengumpulkan DPK," kata dia.
Bernada serupa, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, potensi kenaikan NPL memang sejalan dengan perlambatan ekonomi. Akan tetapi, inflasi yang masih rendah rendah dan adanya ekspektasi penurunan suku bunga masih akan membawa pengaruh positif pada kinerja perbankan.
Oleh karena itu, ia melihat prospek pertumbuhan pada saham perbankan, terutama bank-bank yang memiliki permodalan kuat. Pasalnya, dengan permodalan yang memadai, bank-bank tersebut lazimnya memiliki pencadangan kredit macet yang lebih besar.
Suria mencontohkan, coverage ratio bank besar rata-rata sudah berada di atas 150% sehingga pencadangan NPL-nya memadai. Berbeda dengan bank-bank dengan modal kecil yang coverage ratio-nya masih di bawah 100%.
Oleh karena itu, Suria menyarankan investor untuk mengoleksi saham-saham BUKU IV karena menurut dia, secara historikal, pertumbuhan harga saham-saham ini selalu mengalahkan pertumbuhan IHSG. "Profit mereka juga masih cukup bagus, tumbuh di atas rata-rata IHSG," kata dia.
Baca Juga: IHSG terkoreksi tipis 0,06% menutup perdagangan Rabu (11/12)
Ia menyarankan investor untuk mengoleksi saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) karena valuasinya masih cukup murah. Ia memasang target harga BMRI Rp 8.900 per saham dan BBNI Rp 10.200 per saham.
Wawan juga merekomendasikan investor untuk membeli saham bank BUKU IV, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), BMRI, dan BBNI. "Empat saham ini valuasinya tidak mahal karena tahun ini cenderung koreksi, bisa dibeli untuk jangka panjang," ungkap dia.
Ia memiliki target harga BBRI Rp 4.900 per saham, BBCA Rp 35.000 per saham, BMRI Rp 8.000 per saham, dan BBNI Rp 8.100 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News