Reporter: Petrus Sian Edvansa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Sore tadi, harga minyak sempat melemah sekitar 0,24%. Tercatat, harga minyak West Texas Intermediate pengiriman November 2016 di bursa New York Mercantile Exchange pada Senin (17/10) pukul 17.55 WIB tercatat di level US$ 50,24 per barel. Sehari sebelumnya, minyak ditutup di US$ 50,35 per barel.
Deddy Yusuf Siregar, research and analyst Asia Tradepoint Futures mengatakan, memang sejak hari Kamis (13/10) kemarin pelaku pasar sudah khawatir. Hal ini dikarenakan laporan cadangan minyak Amerika Serikat (AS) yang dikeluarkan oleh Administrasi Informasi Energi negeri Paman Sam itu menyatakan bahwa AS memiliki cadangan minyak sebanyak 4,9 juta barel.
Padahal, menurut prediksi para analis AS hanya memiliki cadangan sebesar 0,4 juta barel. Apalagi, pelaku pasar banyak melakukan aksi ambil untung saat minyak mulai berada di atas US$ 50 pada pekan lalu.
Seakan belum cukup, menurut laporan Baker Hughes, sebuah perusahaan publik asal AS yang bergerak di bidang industri energi, AS justru gencar menambah produksi. Baker Hughes mencatat adanya empat titik pengeboran minyak baru di AS pada pekan lalu.
Seperti dikutip Reuters, ini adalah pekan keenam belas secara beruntun pengeboran minyak AS bekerja tanpa adanya pemotongan produksi, "Tandanya, produksi bertambah dan berpotensi mengganggu harga minyak," ujar Deddy.
Namun, di tengah berbagai sentimen negatif yang melingkupi harga minyak, Deddy masih melihat adanya titik terang dari Asia sebagai pendongkrak harga ke depan. "Permintaan minyak di India naik sebanyak 4,4% pada pekan lalu, data ekonomi yang tersaji di China juga baik, melewati prediksi banyak pihak. Ekonomi yang bertumbuh artinya perbaikan harga minyak," terangnya.
Sampai akhir tahun, Deddy memprediksi harga minyak bisa bergerak di kisaran US$ 50-55 per barel, namun apabila November nanti kesepakatan OPEC benar-benar diteken dan dipatuhi oleh anggotanya, Deddy melihat harga bisa naik ke level US$ 60 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News