Reporter: Nur Qolbi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Utama PT XL Axiata Tbk (EXCL) Dian Siswarini mengatakan, diskusi merger antara induk EXCL, Axiata Group dengan Telenor ASA Norwegia masih terus berlanjut. Menurut dia, merger yang menyatukan dua grup telekomunikasi besar ini sangat kompleks sehingga banyak sekali aspek yang harus dibicarakan.
"Pembicaraan alot tapi masih berlangsung," ucap dia di XL Axiata Tower, Jakarta, Kamis (5/9).
Ia mengatakan, berdasarkan pemberitaan media massa Malaysia yang merupakan basis Axiata Group, merger yang digadang-gadang sebagai salah satu penggabungan usaha terbesar di dunia ini terpengaruh beberapa sentimen yang cenderung menghambat kesepakatan. Salah satunya adalah sentimen larangan impor minyak kelapa sawit Uni Eropa dari Indonesia.
"Banyak sentimen yang muncul tapi intensi kedua pihak untuk merger masih sangat tinggi," ungkap Dian.
Baca Juga: XL Axiata (EXCL) berencana jual 4.500 menara
Direktur Keuangan EXCL Mohamed Adlan bin Ahmad Tajudin menambahkan, baik Indonesia dan Malaysia punya kepentingan dalam isu minyak kelapa sawit ini. Akan tetapi, ia menginformasikan bahwa Norwegia bukan bagian dari Uni Eropa sehingga seyogyanya larangan terkait sawit ini tidak menjadi sentimen sebenarnya.
Sebelumnya, media asal Malaysia, The Star Online pada Kamis (5/9) memberitakan, rencana merger Axiata Group dengan Telenor ASA Norwegia tersandung sejumlah hambatan. Sentimen yang menghambat tersebut terkait dengan masalah komersial, kepentingan nasional dan staf, serta keengganan Indonesia untuk memberikan restu karena melihat Norwegia sebagai bagian dari Uni Eropa yang memberikan tekanan pada impor minyak sawit. Tanpa adanya keterlibatan Indonesia, merger tersebut diperkirakan akan batal.
Masih mengutip The Star Online, seorang eksekutif industri yang mengetahui merger tersebut mengatakan, kedua pihak mencoba upaya terbaik mereka untuk mewujudkan merger ini.
"Beberapa item dalam daftar kesepakatan itu bisa saja dimodifikasi, beberapa lainnya tidak disetujui oleh kedua belah pihak, dan item-item yang dapat mencapai kesepakatan masih menggantung.
Jadi, dengan begitu banyak item yang masih belum terselesaikan, mereka mungkin tidak ingin berlarut-larut dan pembicaraan. Mereka mungkin membatalkannya, " kata seorang eksekutif industri tersebut.
Sumber lain yang dekat dengan kesepakatan itu menambahkan, kekhawatiran Telenor adalah seputar masalah komersial. Sementara itu, kekhawatiran Axiata mencakup kepentingan nasional dan staf. Lebih jauh, masalah hubungan negara-negara tersebut turut membuat merger sulit untuk dilanjutkan.
Sebagai informasi, pada Mei lalu, Axiata Group dan Telenor ASA Norwegia mengejutkan pasar dengan rencana penggabungan aset telekomunikasi mereka di Asia untuk menciptakan raksasa pan-Asia. Mereka akan membuat perusahaan induk (mergedco). Nantinya, Telenor akan memegang saham mayoritas sebesar 56,5%, sedangkan Axiata 43,5%.
Baca Juga: Bisnis menara Axiata Group Bhd diminati investor
Akan tetapi, sebulan yang lalu, pihak berwenang Indonesia mengatakan, mereka perlu melakukan tinjauan terkait apakah Telenor diperbolehkan masuk ke Tanah Air. Pihak berwenang mempertimbangkan Uni Eropa yang melarang penggunaan minyak sawit dalam bahan bakar nabati pada tahun 2030.
Sebagai gambaran, Telenor memiliki lima operator di Asia. Perusahaan ini memiliki total 180 juta pelanggan di Malaysia, Thailand, Bangladesh, Pakistan, dan Myanmar. Sementara itu, Axiata Group memiliki 110 juta pelanggan di Malaysia melalui Celcom, Indonesia melalui EXCL, Kamboja, Sri Lanka, dan Nepal.
Menurut sumber tersebut,jika Indonesia tidak menjadi bagian dari merger tersebut, kepemilikan Axiata dalam merger dapat dikurangi, dari 43,5% menjadi kisaran 30%. Menurut dia, hal ini menempatkan Axiata pada posisi yang kurang menguntungkan sehingga faktor-faktor tersebut dapat memecah kesepakatan merger ini.
Group Head Corporate Communication EXCL Tri Wahyuningsih menambahakan jika merger tersebut terjadi, maka Telenor akan men-transfer teknologinya ke EXCL.
"Salah satu contohnya terkait kecerdasan buatan (artificial inteliggence) ataupun bermacam teknologi lain yang sudah diimplementasikan di Eropa tapi belum di Asia,"kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News