Reporter: Nur Qolbi | Editor: Herlina Kartika Dewi
Sumber lain yang dekat dengan kesepakatan itu menambahkan, kekhawatiran Telenor adalah seputar masalah komersial. Sementara itu, kekhawatiran Axiata mencakup kepentingan nasional dan staf. Lebih jauh, masalah hubungan negara-negara tersebut turut membuat merger sulit untuk dilanjutkan.
Sebagai informasi, pada Mei lalu, Axiata Group dan Telenor ASA Norwegia mengejutkan pasar dengan rencana penggabungan aset telekomunikasi mereka di Asia untuk menciptakan raksasa pan-Asia. Mereka akan membuat perusahaan induk (mergedco). Nantinya, Telenor akan memegang saham mayoritas sebesar 56,5%, sedangkan Axiata 43,5%.
Baca Juga: Bisnis menara Axiata Group Bhd diminati investor
Akan tetapi, sebulan yang lalu, pihak berwenang Indonesia mengatakan, mereka perlu melakukan tinjauan terkait apakah Telenor diperbolehkan masuk ke Tanah Air. Pihak berwenang mempertimbangkan Uni Eropa yang melarang penggunaan minyak sawit dalam bahan bakar nabati pada tahun 2030.
Sebagai gambaran, Telenor memiliki lima operator di Asia. Perusahaan ini memiliki total 180 juta pelanggan di Malaysia, Thailand, Bangladesh, Pakistan, dan Myanmar. Sementara itu, Axiata Group memiliki 110 juta pelanggan di Malaysia melalui Celcom, Indonesia melalui EXCL, Kamboja, Sri Lanka, dan Nepal.
Menurut sumber tersebut,jika Indonesia tidak menjadi bagian dari merger tersebut, kepemilikan Axiata dalam merger dapat dikurangi, dari 43,5% menjadi kisaran 30%. Menurut dia, hal ini menempatkan Axiata pada posisi yang kurang menguntungkan sehingga faktor-faktor tersebut dapat memecah kesepakatan merger ini.
Group Head Corporate Communication EXCL Tri Wahyuningsih menambahakan jika merger tersebut terjadi, maka Telenor akan men-transfer teknologinya ke EXCL.
"Salah satu contohnya terkait kecerdasan buatan (artificial inteliggence) ataupun bermacam teknologi lain yang sudah diimplementasikan di Eropa tapi belum di Asia,"kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News