kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.546.000   5.000   0,32%
  • USD/IDR 16.229   -29,00   -0,18%
  • IDX 7.083   3,02   0,04%
  • KOMPAS100 1.052   4,01   0,38%
  • LQ45 824   1,76   0,21%
  • ISSI 212   1,01   0,48%
  • IDX30 423   0,56   0,13%
  • IDXHIDIV20 506   1,45   0,29%
  • IDX80 120   0,26   0,21%
  • IDXV30 124   0,52   0,42%
  • IDXQ30 140   0,25   0,18%

Menilik Kinerja Emiten E-Commerce Usai Bukalapak (BUKA) Menutup Layanan Marketplace


Rabu, 08 Januari 2025 / 20:30 WIB
Menilik Kinerja Emiten E-Commerce Usai Bukalapak (BUKA) Menutup Layanan Marketplace
ILUSTRASI. Kinerja emiten e-commerce tengah dalam guncangan. PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) resmi menutup layanan marketplace miliknya kemarin, Selasa (7/1).


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten e-commerce tengah dalam guncangan. PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) resmi menutup layanan marketplace miliknya kemarin, Selasa (7/1).

Dalam keterangan tertulis di laman resmi Bukalapak.com, penghentian operasional penjualan produk fisik seperti barang elektronik, gadget, busana, dan sebagainya di marketplace Bukalapak ini merupakan upaya transformasi untuk fokus pada produk virtual seperti pulsa prabayar, token listrik, dan sebagainya.

"Kami ingin menginformasikan bahwa Bukalapak akan menjalani transformasi dalam upaya untuk meningkatkan fokus pada produk virtual. Sebagai bagian dari langkah strategis ini, kami akan menghentikan operasional penjualan produk fisik di marketplace Bukalapak," tulis Bukalapak di blog resminya. 

BUKA melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2021 dan menghimpun dana Rp 21,9 triliun. Setelah dikurangi biaya penawaran umum, jumlah bersih dana IPO sebesar Rp 21,32 triliun.

Baca Juga: Layanan Marketplace Bukalapak (BUKA) Ditutup, Persaingan E-Commerce Makin Ketat

Namun, BUKA masih menyisakan dana initial public offering (IPO) sebesar Rp 9,82 triliun. Rinciannya, sekitar Rp 900 miliar ditempatkan pada deposito dan giro, sedangkan Rp 8,9 triliun ditempatkan di obligasi pemerintah.

Artinya, sisa dana IPO BUKA masih sebesar 46,06% dari total dana bersih yang diraih.

Pergerakan kinerja saham BUKA juga tidak bagus-bagus amat lantaran terus turun sejak IPO. Kala itu harga saham BUKA ditawarkan di level Rp 850 per saham. Hari ini, saham BUKA ada di level Rp 117 per saham.

Nasib yang sama juga dialami oleh kinerja saham emiten teknologi dengan layanan marketplace lainnya. 

Baca Juga: Bukalapak Bakal Tutup Layanan Marketplace, Airlangga Masih Dalami Laporan

Misalnya, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) melantai di bursa pada 11 April 2022 dan menawarkan 40,61 miliar saham di harga Rp 338 per saham. Saat ini, harga saham GOTO ada di level Rp 80 per saham.

PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) listing pada 8 November 2022 dan menawarkan harga Rp 450 per saham. Hari ini, saham BELI stagnan di level Rp 450 per saham.

Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee melihat, penurunan kinerja emiten e-commerce disebabkan oleh kecenderungan sebagian pelanggan yang membeli barang ketika ada promo, terutama promo ongkos kirim (ongkir). 

“Hal tersebut membuat bisnis e-commerce menjadi agak berat,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (8/1).

Baca Juga: Saham BUKA Turun 4,1% Pasca Tutup Marketplace, Cek Juga Saham BELI dan GOTO

Selain itu, harga barang di marketplace saat ini tidak semurah jika dibandingkan dengan harga barang di pasar tradisional, sehingga menyebabkan penurunan transaksi. Penurunan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, juga mengganggu keinginan untuk belanja online.

“Penutupan layanan marketplace BUKA pun dirasa cukup mengejutkan pasar, lantaran segmen tersebut merupakan bisnis utama dari Bukalapak,” paparnya.

Hans melihat, kinerja emiten e-commerce di Indonesia masih menemui tantangan berat di tahun 2025. Bisnis e-commerce di Tanah Air juga masih dikuasai oleh perusahaan asing. Bahkan, saham Tokopedia hanya dimiliki GOTO sebesar 25% saja setelah aksi divestasi marketplace itu ke TikTok.

“Mungkin e-commerce luar negeri lebih menarik, TikTok dan Shopee punya modal besar. Jadi, kalau mereka mau ‘bakar uang’, masih bisa bertahan,” ungkapnya.

Baca Juga: Marketplace Bukalapak Tutup Lapak, Tak bisa Bersaing & Jadi Beban Besar Tak Berujung

Selain itu, ada tantangan penurunan daya beli yang berpotensi membuat masyarakat lebih berhemat di tengah kenaikan harga barang dan risiko perang dagang. 

Di sisi lain, barang dari China diproyeksikan akan membanjiri Indonesia (dumping) akibat efek dari perang dagang Negeri Tirai Bambu dengan Amerika Serikat (AS). 

“Ini jadi risiko besar bagi industri e-commerce di dalam negeri,” paparnya.

Hans pun melihat GOTO masih menarik untuk dilirik dengan konsolidasi dari Tokopedia, meskipun terbatas. Hal itu juga didukung dengan potensi bisnis dari GoJek yang masih ada prospek pertumbuhan. Rekomendasi yang disematkan untuk GOTO adalah akumulasi beli.

Baca Juga: Bukalapak Hentikan Penjualan Produk Fisik, Bagaimana Nasib Saham BUKA?

Analis NH Korindo Sekuritas Richard Jonathan Halim mengatakan, meskipun sektor teknologi memiliki prospek jangka panjang, investor saat ini mengutamakan bisnis yang dapat menunjukkan jalur menuju profitabilitas. 

Dengan meningkatnya fokus pada efisiensi dan monetisasi, emiten yang gagal menunjukkan disiplin keuangan akan tertekan dan dijauhi investor. Matriks operasional dan profitabilitas menjadi pertimbangan investor, seperti adjusted EBITDA.

“Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saham teknologi di luar negeri dengan kegiatan operasi sejenis, seperti Grab dan SEA yang lebih diapresiasi pasar, karena tengah menunjukkan perbaikan kinerja,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (8/1).

Richard melihat, segmen marketplace Bukalapak memang kurang dapat bersaing dengan e-commerce lain di Tanah Air. Bahkan, tidak sampai 10% dari total market share e-commerce di Indonesia.

Baca Juga: Bukalapak Tutup Lapak Marketplace, Ini Dampaknya ke Persaingan E-Commerce Indonesia

Selain itu, segmen marketplace juga memakan beban operasional yang besar, meskipun berkontribusi sebesar 50% terhadap pendapatan BUKA. 

“Per kuartal III 2024, segmen ini masih merugi Rp 2,09 triliun. Jadi, mungkin menutup segmen marketplace merupakan opsi terbaik dari manajemen BUKA,” paparnya.

Pilihan saham emiten teknologi di Indonesia memang juga tak banyak. Saham teknologi di luar negeri tampak lebih performatif lantaran fokus bisnisnya berhubungan dengan artificial inteligence (AI), chipmaker, serta quantum computing.

Sentimen yang bisa membuat kinerja emiten teknologi di Indonesia melesat adalah bagusnya layanan untuk penetrasi dan keterjangkauan internet, data center, ekonomi digital, serta penggunaan AI.

Baca Juga: Masih Berkembang Pesat, iDEA Proyeksi Ecommerce Indonesia Tumbuh 20% - 25%

“Dikarenakan Indonesia masih negara berkembang, kuncinya adalah pemerataaan internet serta penggunaan AI untuk bisnis-bisnis, sehingga dapat meningkatkan kinerja emiten teknologi,” paparnya.

Untuk bertahan, e-commerce lokal memiliki tantangan besar, terutama jika mereka kehilangan pangsa pasar akibat dominasi pemain asing yang memiliki skala ekonomi lebih besar.

Alhasil, jika investor tengah mencari diversifikasi portofolio sekaligus eksposur langsung ke sektor e-commerce yang dominan di pasar Indonesia, salah satu alternatifnya adalah memilih saham perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Salah satunya adalah Sea Group (Shopee).

“Oleh karena itu, diperlukan ekosistem yang besar dan kuat serta kemampuan untuk mencapai profitabilitas dalam jangka menengah agar dapat bertahan dan bersaing di pasar yang sangat kompetitif ini,” paparnya.

Richard pun merekomendasikan GOTO dengan target harga di level Rp 77 per saham, sambil menunggu perbaikan kinerja tahun 2024 serta rangkaian katalis lain, seperti aksi korporasi. 

Baca Juga: Disebut Hentikan Bisnis Marketplace, Begini Penjelasan Bukalapak.com (BUKA)

Analis Sucor Sekuritas Paulus Jimmy melihat, kurangnya minat pasar pada emiten e-commerce disebabkan banyaknya perusahaan di Indonesia yang masih belum membukukan laba bersih.

“Investor lebih memilih saham lain dengan fundamental yang sudah teruji di saat performa pasar saham juga tidak terlalu baik saat ini,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (8/1).

Menurut Paulus, penutupan e-commerce BUKA ini memang sekilas terkesan negatif. Tetapi, justru bisa berdampak positif untuk BUKA, karena memang segmen bisnis ini terkenal dengan persaingan yang ketat dan bahkan belum semua pemain e-commerce di Indonesia membukukan profit. 

“Yang perlu diperhatikan adalah arah business restructuring dari BUKA untuk membangun bisnis yang lebih berkelanjutan ke depannya seperti apa,” ungkapnya.

Baca Juga: Mulai 9 Februari, Bukalapak Fokus Jual Produk Virtual Seperti Pulsa dan Token Listrik

Jika melihat pergerakan saham dari emiten teknologi yang masih merah, tentu penyebabnya akan erat dengan laporan keuangan mereka yang masih membukukan rugi. Sebab, banyak investor yang berharap perbaikan kinerja yang mengarah kepada pertumbuhan dan mencetak laba berkelanjutan.

“Emiten e-commerce yang ke depannya bisa bertahan adalah yang mempunyai business moat yang baik, modal yang cukup jika belum membukukan laba bersih, serta memiliki niche market tersendiri,” paparnya.

Paulus melihat, kesempatan investasi di emiten e-commerce yang ada di pasar saham Indonesia masih terbuka lebar, meskipun persaingan di industrinya masih ketat.

Alhasil, Paulus masih merekomendasikan netral untuk emiten sektor teknologi, termasuk yang memiliki segmen bisnis e-commerce.

Baca Juga: Tutup Layanan Marketplace, Bukalapak Fokus ke Produk Virtual

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer melihat, penurunan pada saham teknologi karena karena kinerja keuangan yang belum membaik dan mencatatkan rugi. 

“Potensi saham teknologi bisa naik jika memang bisa mencatatkan laba, karena hal itu bisa membuat pelaku pasar berpersepsi positif terhadap saham teknologi,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (8/1).

Penutupan lini usaha marketplace BUKA bisa menjadi bentuk strategi efisiensi, karena saingan yang sudah cukup ketat. Namun, harus dilihat lagi bagaimana fokus lini usaha produk virtual BUKA bisa mempengaruhi kinerja pendapatan mereka. 

Saat ini, masih banyak tantangan bagi sektor teknologi, misalnya dari sisi konsumsi masyarakat yang masih cenderung melambat serta suku bunga yang masih tinggi.

“Efisiensi itu memang diperlukan untuk menjaga kinerja tetap stabil,” ungkapnya.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo menambahkan, perusahaan teknologi di dalam negeri, khususnya GOTO menawarkan nilai dan prospek yang tak kalah dengan saham teknologi luar negeri.

Selanjutnya: Prospeknya Lebih Baik, Berikut Reksadana yang Bakal Banyak Diburu Tahun Ini

Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (9/1): Dari Berawan Hingga Hujan Petir

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×