Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan untuk memperpanjang waktu untuk pemenuhan rasio free float 10% oleh perusahaan tercatat.
Melansir pengumuman dalam keterbukaan informasi tertanggal 11 Oktober 2024, BEI memperpanjang waktu pemenuhan minimum rasio free float sebesar 10% untuk evaluasi konstituen indeks IDX30, LQ45, dan IDX80.
Semula, pemenuhan ini akan berlaku pada evaluasi indeks Oktober 2024 dan efektif pada hari bursa pertama bulan November 2024.
Setelah pengumuman, BEI memundurkan waktu pemenuhan pada evaluasi indeks Oktober 2025 dan efektif pada hari bursa pertama bulan November 2025.
“Merujuk pada Pengumuman PT Bursa Efek Indonesia No. Peng-00058/BEI.POP/03- 2024 tanggal 27 Maret 2024 perihal Penyesuaian Kriteria Evaluasi Indeks IDX30, LQ45, dan IDX80, serta mempertimbangkan dinamika pasar terkini serta memberi kesempatan kepada Perusahaan Tercatat untuk memenuhi ketentuan minimum rasio free float, BEI memperpanjang waktu pemenuhan minimum rasio free float sebesar 10% untuk evaluasi konstituen indeks IDX30, LQ45, dan IDX80 menjadi akan berlaku pada evaluasi indeks Oktober 2025 dan efektif pada hari bursa pertama bulan November 2025,” tulis BEI dalam pengumuman tersebut.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik mengatakan, pengunduran waktu tersebut bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para emiten untuk memenuhi rasio free float sebesar 10%.
Baca Juga: BEI Perpanjang Waktu Pemenuhan Rasio Free Float 10%, Ini Alasannya
“Ketentuan persyaratan pencatatan saat ini adalah 7,5%,” ujarnya kepada Kontan, Senin (14/11).
Menurut Jeffrey, Bursa juga sudah menyiapkan strategi agar saham free float yang dilepas para emiten bisa terserap dengan maksimal oleh pasar.
“Dengan adanya Liquidity Provider Saham, nanti diharap bisa membantu,” ungkapnya.
Dalam catatan Kontan.co.id, BEI memang sudah mengungkapkan rencana untuk meningkatkan ketentuan free float saham. Rasio free float saham emiten yang saat ini ada di 7,5% akan dinaikkan menjadi 10%.
Rencana perubahan ini bertujuan untuk memperhitungkan hanya saham yang benar-benar ditawarkan kepada publik dan bukan saham yang dimiliki oleh pengendali dan afiliasi perusahaan.
Nantinya akan ada dua peraturan BEI yang direvisi. Pertama, Peraturan Nomor I-A mengatur tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat.
Kedua, Peraturan I-V menyangkut Ketentuan Khusus Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas selain saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat di Papan Akselerasi.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai, memang sebaiknya pemenuhan rasio free float oleh perusahaan tercatat ditunda. Sebab, batas minimal saat ini sebesar 7,5% untuk saham emiten big caps jumlahnya relatif sudah besar.
Jika batas minimal free float dinaikkan tiba-tiba menjadi 10%, dikhawatirkan menjadi berat bagi para emiten big caps, karena kapasitas dan transaksi harian di Bursa masih belum besar.
Sementara, untuk emiten small cap, kenaikan batas minimal free float kemungkinan belum menjadi masalah besar.
“Jadi ada dampak signifikan antara batas minimal free float dan harga saham untuk emiten big caps jika dipaksakan diterapkan, tetapi tidak begitu ada dampak signifikan untuk emiten small cap,” ujarnya kepada Kontan, Senin (14/10).
Baca Juga: Bobot BREN ke IHSG Turun, Begini Rekomendasi Sahamnya
Dari konstituen indeks IDX30, LQ45, dan IDX80, saat ini setidaknya ada tiga emiten yang belum memenuhi batas minimal free float yang baru di 10%.
Yaitu, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) yang saham free float ada di 9,67%, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) di 9,9%, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) di 7,44%.
Dari tiga emiten tersebut, yang masih jauh di bawah 10% hanya BNGA. Sementara, saham free float BRIS dan SRTG sudah hampir 10%.
“Ke depannya, kinerja SRTG masih berpotensi untuk naik, karena harga sahamnya masih jauh di bawah nilai bukunya,” paparnya.
Terkait strategi Liquidity Provider Saham untuk memastikan penyerapan saham free float, Budi menilai, saat ini belum ada Anggota Bursa (AB) yang bersedia untuk menjadi Liquidity Provider atau market maker.
Asal tahu saja, yang bisa menjadi Liquidity Provider adalah AB, emiten, investor besar institusi, dan pemegang saham pengendali (PSP).
“Jangankan untuk emiten besar yang perlu modal besar, untuk emiten small cap mungkin juga tidak ada. Sebab, belum jelas manfaat dan untungnya buat AB,” paparnya.
Analis Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani melihat, kenaikan free float saham bisa meningkatkan likuiditas saham yang ada di Bursa. Sebab, jumlah saham yang beredar meningkat dan jadi lebih mudah untuk diperjualbelikan.
“Namun, ketentuan free float saham minimal 10% ini tidak memiliki pengaruh sama sekali ke pergerakan indeks maupun kinerja sahamnya,” ujarnya kepada Kontan, Senin (14/10).
Sementara itu, Head of Research Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas menilai, jika emiten tak memenuhi free float karena alasan bahwa pemegang saham pengendali belum siap menjual kepemilikannya, hal tersebut mencerminkan bahwa emiten secara tidak langsung memiliki fundamental saham yang dinilai sang pemegang saham cukup baik.
“Secara tidak langsung itu menggambarkan bahwa prospek dan fundamental saham terbilang cukup bagus, jadi wajar tidak siap ketika harus menjual saham yang mereka tahu seperti apa fundamentalnya,” ujarnya kepada Kontan, Senin (14/10).
Meskipun begitu, syarat free float para emiten di Bursa tetap harus dipenuhi. Untuk memenuhi hal tersebut, emiten bisa melakukan penerbitan saham baru, menjual saham miliki PSP ke publik, atau lewat program Employee Stock Option Plan (ESOP).
Sebab, jika ketentuan free float saham tidak dipenuhi, saham tersebut bisa didepak dari indeks. Alhasil, para manajer investasi yang menggunakan indeks tersebut sebagai benchmark mau tidak mau akan melakukan kocok ulang (rebalancing) portofolio dengan menjual saham emiten yang didepak dan membeli emiten yang masuk.
“Kinerja SRTG, BRIS, dan BNGA masih menarik untuk dilirik investor. Tetapi yang paling menarik adalah BNGA, karena selain kinerja tumbuh, secara valuasi juga tergolong undervalued dan menghasilkan dividend yield yang cukup tinggi,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News