Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Beberapa waktu yang lalu, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan atau BI rate menjadi 6%, atau naik 25 basis poin dari sebelumnya 5,75%.
Berakhirnya tren suku bunga murah ini tentu membuat beberapa perusahaan mengurungkan niat menerbitkan emisi obligasi demi menghindari beban bunga yang lebih besar.
Tercatat, ada beberapa perusahaan yang menunda terbitkan obligasi, seperti PT Tifa Finance Tbk (TIFA), PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).
Bahkan, Bank CIMB Niaga menunda penawaran umum berkelanjutan tahap II senilai Rp 2,5 triliun setelah sebelumnya sempat menggelar public expose.
Namun, pasar obligasi yang kurang nyaman itu tak membuat mundur perusahaan yang tetap menerbitkan obligasi. Tengok saja, PT Pegadaian (Persero) misalnya. Perusahaan pelat merah ini tetap mengeksekusi penerbitan emisi obligasi berkelanjutan II tahap I sebesar Rp 2 triliun
Suwono selaku Direktur Utama Pegadaian mengungkapkan, pihaknya tidak mengubah jadwal terkait emisinya di tengah pasar obligasi yang kurang kondusif. "Book building tetap on going hingga Jumat (21/6)," imbuhnya kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Tapi, Suwono juga mengakui, jika pasar obligasi seperti ini menjadi gangguan bagi beban bunga perusahaan. Guna menghadapi hal itu, kini manajemen akan lebih spesifik dalam melihat offering yang terbaik bagi Pegadaian. "Poinnya harus seperti itu. Soalnya, kami tidak bisa mempengaruhi pasar, apalagi melawan pasar," tukas Suwono.
Jemmy Paul, Analis Sucorinvest Asset Management, berpendapat, pasar obligasi lokal tidak seburuk seperti yang dikira. Pasalnya, tren obligasi saat ini hanya merupakan siklus koreksi, khususnya pasar modal global, yang hanya berlangsung mulai Juni hingga Agustus nanti.
"Obligasi kami masih berprospek. Masih banyak pemodal asing yang ingin masuk. Tunggu tiga hingga enam bulan kedepan maka obligasi kita bisa kembali tampil," jelas Jemmy, kepada KONTAN.
Terkait beberapa emiten yang menunda emisi obligasinya, Jemmy menjelaskan hal itu merupakan tindakan yang wajar. Dirinya menggambarkan, saat ini Surat Utang Negara (SUN) menawarkan imbal hasil atau yield rata-rata 7,5%.
Hal ini otomatis membuat para investor meminta yield yang lebih tinggi atas emisi obligasi korporasi mengingat obligasi swasta memiliki risiko yang lebih tinggi. Jika permintaan itu tetap diladeni, maka dari sisi perusahaan, hal itu akan membuat beban bunga institusi yang bersangkutan meninggi.
Kalau pun Pegadaian tetap on going, itu karena standby buyer Pegadaian tidak jauh seperti Jamsostek atau institusi pemerintah lainnya. "Lagi pula, namanya perusahaan pelat merah pasti punya back up keuangan yang kuat," pungkas Jemmy.
Michael Steven, Direktur Utama Kresna Securities memiliki pandangan serupa. Meski pasar obligasi sedang bergejolak, tapi emisi dengan risiko rendah ini masih memiliki prospek yang baik dan cenderung lebih stabil dibanding pasar ekuitas.
Tapi, jika ada emiten yang sudah menerbitkan emisi obligasi, Michael menyarankan emiten yang bersangkutan mengantisipasi kenaikan bunga sesigap mungkin. Dirinya juga mewanti-wanti kalangan investor untuk tidak memperdagangkan obligasi untuk sementara waktu sembari menunggu kondisi pasar obligasi kembali stabil.
"Prospeknya masih bagus. Jika kami tidak menangani underwriting obligasi tahun ini, itu hanya masalah fee jasa underwriting saja. Soalnya, fee underwriting obligasi lebih kecil dibanding ekuitas," jelas Michael.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News