kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menakar likuiditas saham penghuni baru LQ45


Sabtu, 03 Juni 2017 / 12:35 WIB
Menakar likuiditas saham penghuni baru LQ45


Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Meski masuk ke jajaran kelompok indeks LQ45, ternyata tak menjamin saham jadi lebih likuid. Hal ini setidaknya terjadi pada saham PT XL Axiata Tbk (EXCL).

EXCL menjadi satu dari tiga penghuni anyar indeks LQ45 periode Februari hingga Juli 2017, bersama PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan PT PP Properti Tbk (PPRO). Tapi dari sisi likuiditas, saham EXCL paling rendah.

Genap empat bulan menjadi penghuni saham LQ45, rata-rata volume transaksi harian XL hanya 84.000 lot saham. Adapun volume transaksi PPRO tercatat 690.000 lot dan BUMI lebih 8 juta lot saham.

Dibanding saham PT Global Mediacom Tbk (BMTR) yang didepak dari indeks yang dianggap paling likuid itu, EXCL justru berada di bawahnya. Volume transaksi BMTR mencapai 594.000 lot saham.

Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada menilai, hal ini tak lepas dari karakteristik EXCL. Dari sisi harga pasar, EXCL lebih cocok dipegang oleh investor institusi, yang lebih lama menggenggam sebuah saham.

Harga saham EXCL terakhir di posisi Rp 2.960 per saham. Sementara BMTR di Rp 655 per saham. Dengan asumsi tebal kantong sama, investor bakal lebih banyak memperoleh saham BMTR daripada EXCL. "Ini menjadi salah satu karakteristik investor ritel," ujar Reza kepada KONTAN, Rabu (31/5) lalu.

Dari sisi valuasi, saham EXCL juga sudah mahal. Price to earning ratio EXCL saat ini mencapai 125 kali. "Valuasi ini juga menjadi pertimbangan investor," imbuh Reza.

Investor lebih memilih saham lain di indeks LQ45 dengan valuasi lebih murah. Atau investor justru lari ke saham operator telekomunikasi lain yang valuasinya jauh lebih murah. Saham PT Indosat Ooredo Tbk (ISAT), misalnya, mencatatkan PER sebesar 35 kali. Bahkan PER saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) malah hanya 20 kali.

Selain dua hal itu, faktor fundamental ikut mempengaruhi. "Pasar melihat EXCL belum memiliki proteksi yang kuat menghadapi persaingan di industrinya," tambah Reza.

Setelah kinerja 2016 membaik, EXCL justru mencatat penurunan kinerja pada kuartal I-2017. Pendapatannya turun 6% menjadi Rp 5,27 triliun. Laba bersihnya juga susut 72% menjadi Rp 47 miliar. "Ketatnya kompetisi membuat kami waspada," tulis Kresna Hutabarat, analis Mandiri Sekuritas dalam riset 29 Mei. Dia merekomendasikan neutral saham EXCL dengan target Rp 2.700 per saham.

Tak menutup kemungkinan semua faktor itu menjadi pertimbangan layak atau tidaknya sebuah saham menghuni indeks LQ45, terutama periode Agustus 2017-Januari 2018 dan seterusnya. "Selain likuiditas, fundamental ikut mempengaruhi," ujar analis First Asia Capital David Sutyanto.

Namun sepertinya bobot likuiditas lebih tinggi dibandingkan fundamental untuk menilai saham itu bisa menjadi penghuni LQ45 atau tidak. Ini terlihat dari saham BUMI yang kinerja perusahaannya belum sepenuhnya membaik. "Tapi, volume transaksinya sangat tinggi," pungkas Reza.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×