CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Mau Koleksi Saham BUMN, Perhatikan Rekomendasi Berikut


Rabu, 23 Maret 2022 / 07:55 WIB
Mau Koleksi Saham BUMN, Perhatikan Rekomendasi Berikut


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ada 36 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan anak usahanya yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari total tersebut, tak semua emiten BUMN memiliki kinerja ciamik dan pergerakan saham yang positif.

Emiten perbankan BUMN mayoritas bergerak di zona hijau dan mencatatkan kenaikan secara year to date, seperti BBRI, BBNI, dan BMRI. Hal yang sama juga terjadi pada emiten BUMN di sektor pertambangan seperti PTBA, ANTM, dan TINS yang naik double digit sejak awal tahun 2022 karena lonjakan harga komoditas dunia. 

Di sektor telekomunikasi, TLKM melonjak 12,62% sejak awal tahun. Meski harga saham anak usahanya, MTEL berada di posisi Rp 795, sedikit di bawah harga saat initial public offering (IPO) yang sebesar Rp 800. 

JSMR turut bergerak naik dalam satu bulan terakhir. Hari ini, saham JSMR kembali naik 110 poin atau 3,05% ke Rp 3.720. Meski secara year to date masih minus 4,37%.

Baca Juga: Kapitalisasi Pasar Emiten BUMN Menyumbang 23% dari Total Market Cap Pasar Modal

Nasib saham ADHI, WSKT, WIKA, dan PTPP masih merana. Saham-saham emiten plat merah di sektor konstruksi-infrastruktur tersebut kompak berkutat di zona merah secara year to date. Meski WSKT dan WIKA mampu mencatatkan kenaikan tipis pada hari ini.

Anak-anak usaha BUMN konstruksi seperti WTON dan PPRO juga memerah sejak periode awal tahun ini. Begitu juga yang baru menggelar IPO, ADCP yang sahamnya kini berada di posisi Rp 93, di bawah level harga IPO yang sebesar Rp 130.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menekankan bahwa di luar status BUMN ataupun perusahaan swasta, investor akan lebih memperhatikan emiten berdasarkan sektor dan fundamental keuangan. Selain itu, prospek bisnis dan kinerja keuangan akan lebih menentukan.

Baca Juga: Ini Empat Jurus BUMN untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sehingga Wawan menilai pergerakan harga emiten BUMN dan anak usahanya masih terbilang wajar. "Sektor komoditas dan perbankan itu seksi sekali tahun ini. Telekomunikasi juga menarik, konstruksi masih belum," ungkap dia kepada Kontan.co.id, Selasa (22/3).

Wawan memperkirakan investor masih wait and see untuk sektor konstruksi. Pelaku pasar diperkirakan akan melihat terlebih dulu kinerja keuangan emiten konstruksi pada kuartal pertama 2022. "Dengan proses pemulihan ekonomi harapannya saham-saham ini akan lebih baik," imbuh Wawan.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengungkapkan hal senada. Dia menambahkan, kinerja emiten yang kuat akan diikuti dengan kenaikan harga sahamnya. Sebaliknya, kinerja yang lemah akan sulit menarik minat investor.

Baca Juga: Tips Cerdas Memilih Investasi agar Tidak Tertipu Iming-Iming Investasi Bodong

Hal ini ditunjukkan oleh emiten BUMN di sektor pertambangan, perbankan dan telekomunikasi yang rata-rata mencatat kenaikan kinerja yang signifikan. Selain sudah pulih, beberapa diantaranya bahkan mencetak rekor seperti PTBA, BMRI dan TLKM. 

"BBRI, BBNI, BBTN, ANTM, dan TINS juga mencatatkan peningkatan laba yang kuat. Hal ini diapresiasi pasar dengan penguatan harga saham masing-masing sejak awal tahun ini," ungkap Pandhu.

Sedangkan konstruksi merupakan salah satu sektor yang kinerjanya terpukul paling keras oleh pandemi covid-19. Oleh sebab itu, sektor ini masih belum mendapat perhatian penuh investor sehingga pemulihannya relatif tertinggal dibandingkan sektor lain.

Baca Juga: Emiten Tambang dan Bank Paling Cuan di Tahun 2021

"Investor cenderung menunggu adanya perbaikan kinerja yang signifikan terlebih dahulu, karena saat ini masih banyak saham yang lebih menarik," imbuh Pandhu.

Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana juga mengungkapkan bahwa kinerja sektor konstruksi masih tertahan lantaran rantai pasok operasional bisnisnya masih terdampak pandemi. Namun, Raditya melihat pada tahun ini emiten konstruksi BUMN berpotensi membaik dengan adanya proyek ibu kota negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.

Kemudian, rencana perubahan status pandemi menjadi endemi juga turut menjadi katalis positif bagi sektor ini. "Adanya proyek IKN berpotensi meningkatkan demand. Emiten BUMN sektor konstruksi dan infrastruktur pasti mendapatkan bagian untuk mengerjakan proyek IKN," kata Raditya.

Baca Juga: Proyek Ibu Kota Baru Butuh Dana, Tapi Investor Belum Juga Nyata

Raditya merekomendasikan hold untuk saham BBTN, ANTM dan PTPP dengan target harga masing-masing pada posisi Rp 1.980 per saham, Rp 2.800 per saham, dan Rp 1.180 per saham. Kemudian dia merekomendasikan buy untuk WIKA dengan target harga Rp 1.250 per saham.

Sedangkan Pandhu melihat saham-saham BUMN di sektor perbankan dan pertambangan mineral masih menarik. Mengingat pencapaian sektor perbankan hingga awal tahun ini cukup positif, dan ditargetkan dapat mencetak pertumbuhan pendapatan hingga lebih dari 10% pada 2022. 

Pandhu melihat saham BMRI menarik untuk dicemati pelaku pasar dengan target hingga Rp 9.000 per saham dalam 12 bulan ke depan. Sedangkan dari sektor pertambangan, Pandhu menjagokan saham TINS di tengah kenaikan harga komoditas timah dibandingkan tahun lalu.

Baca Juga: Banyak Emiten BUMN Cetak Laba Jumbo, Begini Rekomendasi Analis

"Kami proyeksikan laba akan meningkat hingga mencapai Rp 1,8 triliun tahun ini, dan targetkan TINS dapat mencapai harga Rp 2.200 per saham," sebut Pandhu.

Sedangkan Wawan menyoroti saham MTEL. Menurut dia, return on equity (ROE) MTEL saat ini memang masih kalah dibandingkan pesaing di sektornya. Di sisi lain, dengan dana IPO yang jumbo, yakni Rp 18,79 triliun MTEL masih perlu waktu untuk menyerapnya menjadi investasi yang menghasilkan cash flow.

"Secara profitabilitas MTEL masih kalah dengan yang lain, maka wajar sahamnya belum gerak. Ketika mereka sudah belanja modal dan ekspansinya menghasilkan cash flow, MTEL menarik," pungkas Wawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×