Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
"Investor cenderung menunggu adanya perbaikan kinerja yang signifikan terlebih dahulu, karena saat ini masih banyak saham yang lebih menarik," imbuh Pandhu.
Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana juga mengungkapkan bahwa kinerja sektor konstruksi masih tertahan lantaran rantai pasok operasional bisnisnya masih terdampak pandemi. Namun, Raditya melihat pada tahun ini emiten konstruksi BUMN berpotensi membaik dengan adanya proyek ibu kota negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
Kemudian, rencana perubahan status pandemi menjadi endemi juga turut menjadi katalis positif bagi sektor ini. "Adanya proyek IKN berpotensi meningkatkan demand. Emiten BUMN sektor konstruksi dan infrastruktur pasti mendapatkan bagian untuk mengerjakan proyek IKN," kata Raditya.
Baca Juga: Proyek Ibu Kota Baru Butuh Dana, Tapi Investor Belum Juga Nyata
Raditya merekomendasikan hold untuk saham BBTN, ANTM dan PTPP dengan target harga masing-masing pada posisi Rp 1.980 per saham, Rp 2.800 per saham, dan Rp 1.180 per saham. Kemudian dia merekomendasikan buy untuk WIKA dengan target harga Rp 1.250 per saham.
Sedangkan Pandhu melihat saham-saham BUMN di sektor perbankan dan pertambangan mineral masih menarik. Mengingat pencapaian sektor perbankan hingga awal tahun ini cukup positif, dan ditargetkan dapat mencetak pertumbuhan pendapatan hingga lebih dari 10% pada 2022.
Pandhu melihat saham BMRI menarik untuk dicemati pelaku pasar dengan target hingga Rp 9.000 per saham dalam 12 bulan ke depan. Sedangkan dari sektor pertambangan, Pandhu menjagokan saham TINS di tengah kenaikan harga komoditas timah dibandingkan tahun lalu.
Baca Juga: Banyak Emiten BUMN Cetak Laba Jumbo, Begini Rekomendasi Analis
"Kami proyeksikan laba akan meningkat hingga mencapai Rp 1,8 triliun tahun ini, dan targetkan TINS dapat mencapai harga Rp 2.200 per saham," sebut Pandhu.
Sedangkan Wawan menyoroti saham MTEL. Menurut dia, return on equity (ROE) MTEL saat ini memang masih kalah dibandingkan pesaing di sektornya. Di sisi lain, dengan dana IPO yang jumbo, yakni Rp 18,79 triliun MTEL masih perlu waktu untuk menyerapnya menjadi investasi yang menghasilkan cash flow.
"Secara profitabilitas MTEL masih kalah dengan yang lain, maka wajar sahamnya belum gerak. Ketika mereka sudah belanja modal dan ekspansinya menghasilkan cash flow, MTEL menarik," pungkas Wawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News