Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) diprediksi masih diliputi sejumlah tantangan pada tahun 2024.
Asal tahu saja, Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan suspensi perdagangan sementara terhadap saham WIKA karena Perseroan menunda membayar sukuk.
BEI menjelaskan perseroan telah menunda pembayaran pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I Tahun 2020 Seri A yang jatuh tempo pada 18 Desember 2023. Hal tersebut mengindikasikan adanya permasalahan pada kelangsungan usaha Perseroan.
Ini bukan yang pertama kalinya saham emiten BUMN Karya disuspensi. Sebelumnya, ada saham PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) yang disuspensi BEI.
Baca Juga: Pefindo Turunkan Peringkat Sukuk Wijaya Karya (WIKA) ke Level idSD
Kepala Riset Praus Capital Marolop Alfred Nainggolan mengatakan, meskipun ada suspensi saham dari BEI, potensi delisting untuk emiten BUMN bisa dibilang sangat kecil, karena secara historis juga belum pernah kejadian.
“Bahkan ada kondisi emiten BUMN yang lebih buruk dari WIKA, tetapi masih aktif diperdagangkan,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (12/1).
Penyebab suspensi WIKA, kata Alfred, adalah permasalahan penundaan pembayaran kewajiban atau likuiditas. “Namun, secara aset dan ekuitas balance sheet, kondisi WIKA masih bagus,” paparnya.
Alfred melihat, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN sebagai pemegang saham mayoritas (Ultimate), sangat lambat dalam penanganan BUMN Karya.
Proses pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) dan juga divestasi aset terjadi berlarut-larut. Kondisi ini bahkan terlihat sebelum tahun politik.
Baca Juga: Minta Persetujuan Right Issue, Wijaya Karya (WIKA) Umumkan akan Gelar RUSPLB
“Dengan masuknya tahun 2024 dengan pergantian Pemerintah & Legislatif, sudah pasti akan lebih berat lagi untuk bisa di selesaikan permasalahan likuiditas BUMN Karya (WIKA & WSKT),” paparnya.
WIKA diketahui menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk meminta persetujuan right issue sebagai skema penerimaan PMN sebesar Rp 6 triliun.
Menurut Alfred, pemberian PMN akan menjadi sentimen positif, karena masalah short term WIKA adalah likuiditas. Dengan masuknya PMN, maka akan memperbaiki likuiditas Perseroan.
Kewajiban yang membebani BUMN Karya saat ini adalah hasil dari ekspansi masif Karya yang dibiayai oleh pinjaman. Harus diakui, terlaksananya program infrastruktur Pemerintah tidak lepas dari kontribusi BUMN Karya yang diminta untuk mendukung program infrastruktur pemerintah.
Baca Juga: Pencairan Penyertaan Modal Negara untuk BUMN di 2024 Masih Tunggu PP
“Kewajiban yang besar tersebut menjadi masalah berat karena terjadi Pandemi Covid-19, sementara beban pinjaman tetap harus dibayarkan. Inilah masalah likuiditasnya,” tuturnya.
Namun, Alfred melihat, opsi menambah pinjaman sudah tidak memungkinkan. PMN bisa dilakukan, tetapi prosesnya sulit dan jumlahnya sangat terbatas.
“Sehingga, divestasi aset menjadi pilihan yang rasional untuk keluar dari masalah likuiditas dalam waktu yang lebih cepat,” paparnya.
Di saat yang bersamaan, modal kerja bagi Perusahaan Konstruksi sangat signifikan dalam menambah atau mengerjakan proyek.
Sebab, sebuah perusahaan konstruksi butuh likuiditas (Kas) dan leverage (rasio utang) yang baik yang sewaktu-waktu bisa menjadi cadangan likuiditas melalui pinjaman.
Baca Juga: Waskita (WSKT) Selesaikan Proyek Bendungan Karian, Jokowi Lakukan Peresmian
Namun, saat ini kondisi leverage BUMN Karya sangat berat mencari pinjaman dari kreditur. Alfred melihat, hal ini menjadi risiko perusahaan BUMN.
“Saat mereka harus melakukan divestasi aset, ternyata pelaksanaan banyak ditentukan oleh banyak faktor eksternal. Kesannya ini bukan karena pertimbangan kehati-hatian (Prudent), tetapi menurut saya lebih ke pertimbangan politis,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News