Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para investor retail yang tergabung dalam Forum Investor Retail AISA (FORSA) kecewa terhadap sikap Stefanus Joko Mogoginta dan Budhi Istanto Suwito, mantan direksi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) yang terus berusaha lepas dari tanggung jawab atas laporan keuangan AISA tahun 2017. Hal itu tergambar dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pekan lalu, ketika keduanya diperiksa sebagai terdakwa atas dugaan pemalsuan laporan keuangan AISA tahun 2017.
“Seluruh persoalan harusnya menjadi tanggung jawab direksi, Joko dan Budhi tetap bisa dimintai pertanggungajawaban sebagai pelaksana perusahaan. Sedangkan bawahannya hanya melakukan apa yang diperintah Joko, karena hirarki perusahaannya,” kata Ketua Forum Investor Ritel AISA (Forsa) Deni Alfianto Amris dalam siaran pers, Senin (3/5).
Sikap mantan direktur Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA) Joko Mogoginta, dan Budhi Istanto yang berusaha lepas dari tanggung atas laporan keuangan tahun 2017 yang mereka tanda tangani juga menjadi perhatian utama Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta. Ketua Majelis Hakim Ahmad Suyuti menegaskan, sebagai direksi, seharusnya keduanya mengetahui seluruh informasi yang ada dalam laporan keuangan lantaran menandatangani laporan keuangan tersebut.
“Harusnya Anda (Joko Mogoginta) bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap perusahaan ke luar dan ke dalam,” kata Ketua Majelis Hakim Ahmad Sayuti pada sidang lanjutan dugaan pemalsuan laporan keuangan AISA tahun 2017, Rabu (28/4).
Baca Juga: AISA memprioritaskan belanja modal tahun 2021 untuk mesin pabrik
Sekedar Informasi, nama Joko dan Budi disebut dalam Laporan atas Investigasi Berbasis Fakta hasil penelusuran dari PT Ernst & Young Indonesia (EY) ditemukan bahwa terdapat dugaan aliran dana sebesar Rp 1,78 triliun dengan berbagai skema dari Grup Tiga Pilar kepada pihak-pihak yang diduga terafiliasi dengan Joko dan Budi, antara lain dengan menggunakan pencairan pinjaman Grup Tiga Pilar dari beberapa bank, pencairan deposito berjangka, transfer dana di rekening bank, dan pembiayaan beban pihak terafiliasi oleh Grup Tiga Pilar.
Selain itu, dalam laporan keuangan tahun 2017 yang disusun oleh manajemen AISA yang kala itu dipimpin oleh Joko Mogoginta selaku direktur utama, tidak ditemukan adanya pengungkapan (disclosure) secara memadai kepada para pemangku kepentingan yang relevan. Deni R. Tama, selaku pihak yang melakukan penelusuran bahkan sempat dihadirkan jaksa dalam persidangan Februari 2021 silam untuk menjelaskan temuannya ini di hadapan hakim.
Seperti diketahui, laporan keuangan Tiga Pilar tahun buku 2017 memuat informasi yang tidak benar. Pertama terkait ditulisnya enam perusahaan distributor yang terafiliasi dengan Joko sebagai perusahaan pihak ketiga. Kedua, terkait adanya penggelembungan (overstatement) piutang enam perusahaan tersebut kepada Tiga Pilar. Piutang yang sebenarnya sekitar Rp 200 miliar digelembungkan menjadi Rp 1,6 triliun. Dugaannya ini dilakukan untuk mendongkrak harga saham Tiga Pilar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Baca Juga: FKS Food Sejahtera (AISA) Anggarkan Rp 50 Miliar capex untuk Belanja Mesin
Meski bukti tanda tangannya ada dalam laporan keuangan 2017, Joko dan Budhi mengaku tidak mengetahui adanya tindakan penggelembungan piutang dan manipulasi pencatatan dalam laporan tersebut. Joko justru mengalihkan tanggungjawab kepada bawahannya, yaitu Sjambiri Lioe selaku Koordinator Keuangan Tiga Pilar sebagai pihak yang mesti bertanggung jawab. “Sjambiri itu direktur atau setara direktur? Kalau dia direktur mengapa bukan dia yang menandatangani laporan tahunan?” kata Hakim Ahmad balik bertanya.
Tidak cuma Sjambiri, Joko dan Budi juga menyalahkan auditor KAP Amir Abadi Jusuf (AAJ) yang tidak pernah mengoreksinya terkait dengan pencatatan pihak ketiga dan pihak berafiliasi. Oleh karena itu, majelis hakim meminta keduanya untuk jujur dan tidak menyalahkan orang lain.
“Kadang aneh, ada perusahaan yang berbuat salah namun yang disalahkan adalah satpam,” sambung Hakim Ahmad mengandaikan upaya Joko dan Budhi mengelak dari dari tanggung jawab. Apalagi pada sidang-sidang sebelumnya, Sjambiri tegas menyatakan bahwa ia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh direktur pada saat itu yaitu Joko Mogoginta dan Budhi Istanto.
Baca Juga: Ini penyebab laba bersih FKS Food Sejahtera (AISA) naik jadi Rp 1,2 triliun di 2020
Hakim pun mempertanyakan kepada siapa Sjambiri bertanggung jawab di dalam perusahaan, Budhi Istanto spontan menjawab bahwa Sjambiri melapor langsung kepada direktur utama. Hal inipun dibenarkan oleh terdakwa Joko Mogoginta.
Senada dengan Joko, Budhi Istanto juga tidak bisa memberikan alasan yang jelas saat ditanya Majelis Hakim terkait ia menandatangani laporan keuangan perusahaan tersebut. Budhi cuma mengaku menandatangani laporan karena merupakan direksi yang paling sering berada di kantor. “Saya membayangkan ini adalah perusahaan besar, perusahaan terbuka, masa seperti itu, main tunjuk (untuk tanda tangan)," kata Hakim Ahmad.
Selain mencecar kedua terdakwa terkait pertanggungjawabannya terhadap laporan keuangan, Hakim Ahmad juga mempertanyakan soal penggelembungan piutang enam distributor. Terutama pada saat Tiga Pilar gagal membayar bunga obligasi pada tahun 2018 yang kemudian berujung pada pemberhentian perdagangan saham perusahaan.
Baca Juga: Manajemen baru AISA bekerja keras bereskan kinerja
Pada tahun 2018, Tiga Pilar gagal membayar bunga utang senilai Rp 30,75 miliar dari Obiligasi TPSF I/2013, fee Sukuk Ijarah TPSF I/2013 senilai Rp 15,37 miliar, dan Rp 63,3 miliar yang merupakan fee Sukuk Ijarah TPSF II/2016. “Pada saat itu perusahaan Anda dalam kondisi gawat, tidak bisa membayar bunga obligasi, sementara dari fakta Anda memiliki piutang (tagihan) yang besar kepada enam distributor yang nilainya besar. Jadi kalau melihat dari catatan pada laporan keuangan itu, apakah perusahaan melakukan penagihan kepada enam distributor tersebut?” tanya Hakim Ahmad.
Mendengar pertanyaan tersebut Joko mengatakan bahwa perusahaan memang tidak melakukan penagihan. Namun ia tidak memberikan alasan yang jelas kenapa pihaknya tidak melakukan penagihan.
Hal senada juga diungkapkan Deni. FORSA juga sempat melakukan dengar pendapat dengan manajemen lama AISA mengenai cara membayar obligasi yang sudah jatuh tempo, padahal memiliki piutang yang besar. “Mengapa tidak ada upaya menagih sehingga tanggung jawab obligasi terpenuhi karena piutangnya hampir Rp 7 triliun, ini ada yang aneh,” kata Deni.
Baca Juga: FKS Food Sejahtera (AISA) prioritaskan belanja modal tahun 2021 untuk mesin pabrik
Bahkan Forsa sempat menyarankan agar AISA melakukan PKPU terhadap enam distributor tersebut jika tidak membayar piutang. Namun ternyata diketahui belakangan bahwa distributor tersebut merupakan afiliasi, bukan pihak ketiga.
Dalam perkara yang sudah disidangkan sejak Oktober 2020 silam ini, jaksa mendakwa Joko dan Budhi dengan Undang-undang Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal. Ancaman maksimal hukuman kurungan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar menanti keduanya jika dakwaan jaksa berhasil dibuktikan.
Baca Juga: Saksi ahli beberkan fakta baru di sidang lanjutan AISA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News