Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedang ambruk, kembali ke bawah level 7.000 usai terjun sedalam 3,48% pada pekan terakhir bulan Mei 2024. Semua indeks saham terpuruk, termasuk LQ45 yang ambles 2,73% dalam sepekan.
Jika diakumulasi secara year to date, LQ45 sudah dalam posisi minus 10,22%. Level penurunan yang jauh lebih dalam dibandingkan IHSG yang mengalami minus 4,15% sejak awal tahun 2024.
Banyak dihuni saham dengan kapitalisasi pasar besar (big caps), pelemahan indeks LQ45 turut menyeret gerak IHSG. Tampak dari posisi saham-saham laggard penggerus IHSG yang dominan dihuni oleh konstituen LQ45.
CEO Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menyoroti secara umum pergerakan saham big caps sedang mengalami volatilitas yang cukup tinggi dalam beberapa waktu terakhir. Setidaknya ada empat sentimen pemberat yang membawa situasi tersebut.
Baca Juga: Kinerja Kalbe Farma (KLBF) Masih Prospektif, Intip Rekomendasi Sahamnya
Pertama, aksi profit taking usai terjadi kenaikan yang cukup tajam pada sejumlah saham. Kedua, kebijakan otoritas dan dinamika pasar yang memengaruhi isu-isu sektoral seperti suku bunga acuan dan fluktuasi harga komoditas.
Ketiga, sentimen gejolak nilai tukar rupiah yang menekan sejumlah perusahaan besar. Adapun, hingga akhir Mei 2024 kurs rupiah tembus di level Rp 16.251 per dolar Amerika Serikat (AS).
Keempat, sentimen global yang belum kondusif. Mulai dari sisi makro ekonomi dengan perlambatan di beberapa negara, perang dagang AS dan China yang kembali menghangat, hingga efek dari tensi geopolitik yang masih memanas.
"Prospek LQ45 secara jangka panjang masih cukup baik. Namun jangka pendek akan volatile dan masih perlu diwaspadai. Potensi penurunan lebih lanjut masih terbuka, terutama jika sentimen negatif global belum mereda," tutur Guntur kepada Kontan.co.id, Minggu (2/6).
Baca Juga: Data Tenaga Kerja AS dan Inflasi Indonesia Akan Menggerakkan Rupiah pada Senin (3/6)
Analis Stocknow.id Abdul Haq Alfaruqy mengamati dalam kondisi saat ini para pelaku pasar khususnya big player cenderung mengamankan aset pada instrumen yang lebih konservatif dibandingkan saham yang relatif agresif. Misalnya pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Pengamat & Praktisi Pasar Modal Riska Afriani menambahkan, para investor masih fokus mencerna arah kebijakan suku bunga The Fed selanjutnya. Kondisi ini turut membuat nilai tukar rupiah melemah dan tekanan jual dari investor asing yang cukup tinggi.
Apalagi di tengah goncangan pasar saham saat ini, sebagian pelaku pasar cenderung melakukan panic selling. Sementara untuk saham yang sebelumnya sudah naik cukup tinggi, terjadi penurunan yang relatif wajar akibat aksi profit taking.
Meski begitu, Riska masih optimistis kinerja saham LQ45 berpotensi naik kembali pada semester II-2024. "Mengingat fundamental yang kuat dari saham-saham tersebut dan ekonomi Indonesia," imbuh Riska.
Baca Juga: Barito Renewables (BREN) Masuk Papan Pemantauan Khusus, Ini Kata BEI
Abdul Haq punya pandangan serupa, dimana saham LQ45 akan kembali mendaki pada semester II. Dorongan utama akan kembali datang dari saham-saham perbankan yang punya bobot besar, serta dari saham sektor energi dan pertambangan.
Sementara itu, Founder WH-Project William Hartanto menyoroti adanya rotasi di antara saham-saham LQ45. Saham yang sebelumnya naik tinggi, sekarang melandai. Sebaliknya, saham yang sebelumnya merosot mulai menanjak kembali seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
"Saham-saham big caps yang sebelumnya menopang IHSG sekarang gantian dengan yang sebelumnya membebani. UNVR jadi salah satu yang paling mencolok rebound-nya," terang William.
Baca Juga: Jurus Tetap Cuan di Waran Terstruktur Saat Pasar Bearish
Strategi Investasi Untuk LQ45
Dalam kondisi pasar saham yang sedang terguncang, Guntur menyarankan pendekatan wait and see untuk jangka pendek, atau profit taking jika sudah mendulang cuan. Sebaiknya menunggu sinyal pemulihan yang jelas sebelum melakukan akumulasi.
Namun untuk jangka menengah hingga panjang, bisa berinvestasi bertahap dengan dollar cost averaging memanfaatkan momentum pasar pada saham-saham yang berfundamental kuat. Riska turut memandang bagi long-term investor, bisa memanfaatkan momentum untuk buy on weakness dengan pembelian saham secara bertahap.
Catatan Riska, perlu lebih disiplin melakukan batas cut loss untuk meminimalisasi risiko. Riska menjagokan saham UNVR, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC).
William merekomendasikan trading buy pada saham UNVR dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO). Kemudian, pertimbangan sell on strength pada saham MEDC dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN).
Sedangkan Abdul Haq menyematkan rekomendasi trading buy untuk saham MEDC, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP). Berikut trading plan untuk ketiga saham tersebut:
BMRI: buy di area Rp 5.900, target harga di Rp 6.225-Rp 6.575, dan stoploss di Rp 5.700.
MEDC: buy di area 1.355, target harga Rp 1.450-Rp 1.495, dan stoploss di Rp 1.290.
INKP: buy di area Rp 9.100, target harga di Rp 9.600-Rp 10.000 dan stoploss di Rp 8.675 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News