Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir pekan lalu, Fitch Ratings merilis laporan yang menyatakan rating headroom perusahaan konstruksi pelat merah, khususnya PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) semakin terbatas. Rating headroom mengukur seberapa besar ruang yang dimiliki perusahaan sebelum menghadapi penurunan peringkat. Semakin terbatas rating headroom, maka potensi penurunan peringkat utang makin besar.
Sebelumnya, pada 19 Agustus 2020, Fitch Ratings menurunkan peringkat nasional jangka panjang PT Waskita Karya Tbk dari BBB+ (idn) menjadi B (idn). Kemudian, pada 10 September 2020, Fitch mengubah peringkat nasional jangka panjang PT Wijaya Karya Tbk, dari AA- (idn) menjadi menjadi A (idn).
Merujuk laporan keuangan WSKT per Juni 2020, rasio likuiditas (total aset lancar dibagi total liabilitas jangka pendek) WSKT adalah sebesar 100,3%. Angka ini tak jauh berbeda dengan rasio likuiditas WIKA yang sebesar 104,2%. Sementara rasio likuiditasnya emiten konstruksi BUMN lainnya lebih longgar, yakni PT Adhi Karya Tbk (ADHI) 113,5% dan PT PP Tbk (PTPP) 127,7%.
Baca Juga: BEI: Masih ada 6 perusahaan berencana IPO di 2020
Analis Sucor Sekuritas Joey Faustian mengatakan, likuiditas emiten konstruksi memang cukup ketat pada 2020 karena minimnya kontrak baru dan penurunan pendapatan yang cukup dalam. Sementara untuk melunasi utang jangka pendek, Joey menilai seharusnya tidak ada masalah pembayaran. Mengingat, ada opsi untuk refinancing serta peluang relaksasi dalam bentuk perpanjangan jatuh tempo dan penurunan bunga.
"Yang perlu dikhawatirkan adalah potensi meningkatnya lagi interest bearing debt dan debt level dari emiten konstruksi yang membutuhkan pinjaman tambahan untuk modal kerja. Mengingat, revenue recognition melambat selama PSBB dan adanya proyek yang tertunda," tutur Joey saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (21/9).
Meskipun begitu, menurut dia, bisnis konstruksi saat ini sudah menunjukkan tanda pemulihan. Ini terlihat dari jumlah tender proyek yang selesai dilelang meskipun belum kembali ke level normal.
Baca Juga: Mengukur prospek saham emiten pengelola kawasan industri
Akan tetapi, Joey melihat bahwa prospek saham-saham emiten konstruksi dalam jangka pendek masih kurang baik. "Pasalnya, ada perlambatan dalam pengerjaan tender proyek dan melambatnya penyerapan Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara (APBN) untuk budget infrastruktur hingga semester 1-2021," ucap dia.
Terlebih lagi, earning perusahaan konstruksi BUMN yang diprediksi turun tajam pada 2020 menyebabkan valuasi saham-saham tersebut juga kurang menarik. Oleh karena itu, Joey merekomendasikan hold untuk WIKA, PTPP, dan ADHI dengan target harga masing-masing Rp 1.300 per saham, Rp 950, dan Rp 650, serta sell untuk WSKT di Rp 550 per saham.
Per Senin (21/9), harga WIKA berada di level Rp 1.130 per saham, PTPP Rp 835, dan ADHI Rp 515 per saham. Sementara WSKT sudah melewati target harga yang dipasang Joey karena telah mencapai level Rp 555 per saham.
Baca Juga: Divestasi Dua Konsesi Tol, PTPP Bisa Raup Dana Segar Rp 421 miliar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News