kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.483.000   -4.000   -0,16%
  • USD/IDR 16.757   21,00   0,13%
  • IDX 8.610   -8,64   -0,10%
  • KOMPAS100 1.188   4,72   0,40%
  • LQ45 854   1,82   0,21%
  • ISSI 307   0,26   0,08%
  • IDX30 439   -0,89   -0,20%
  • IDXHIDIV20 511   -0,15   -0,03%
  • IDX80 133   0,33   0,25%
  • IDXV30 138   0,47   0,34%
  • IDXQ30 140   -0,47   -0,33%

Sinyal Quantitative Easing (QE) AS Menguat Dinilai Jadi Angin Segar Kripto


Jumat, 19 Desember 2025 / 18:11 WIB
Diperbarui Jumat, 19 Desember 2025 / 18:44 WIB
Sinyal Quantitative Easing (QE) AS Menguat Dinilai Jadi Angin Segar Kripto
ILUSTRASI. ilustrasi uang kripto (Dok/Shutterstock) Setelah The Fed memangkas suku bunga dan wacana kembalinya QE pada 2026 dinilai berpotensi menjadi katalis baru bagi aset kripto.


Reporter: Vatrischa Putri Nur | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan pasar. Setelah The Fed memangkas suku bunga dan wacana kembalinya quantitative easing (QE) pada 2026 dinilai berpotensi menjadi katalis baru bagi aset berisiko, khususnya kripto.

Sebelumnya, Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral AS telah memutuskan untuk melakukan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 3,50%-3,75%. Pun, The Fed diumumkan akan membeli Treasury Bills (surat utang) jangka pendek sekitar US$ 40 miliar per bulan.

Langkah Fed ini memberikan sinyal kepada pasar bahwa The Fed akan segera mengakhiri kebijakan quantitative tightening (QT) atau pengetatan neraca. Di sisi lain, bank sentral Amerika Serikat ini dinilai akan kembali melakukan ekspansi neraca (quantitative easing/QE)) dalam waktu dekat.

Jika kebijakan QE akan kembali dijalanan AS pada tahun 2026, sejumlah aset berisiko tinggi seperti kripto akan berpotensi melaju tinggi tahun depan. Apalagi mengingat harga aset kripto sempat mengalami tekanan pada beberapa bulan terakhir tahun ini.

Baca Juga: Bahana TCW Bersip Rilis Reksadana ETF Emas Syariah

Founder dan CEO TRIV Gabriel Rey mengatakan bahwa tekanan yang terjadi pada harga aset kripto di akhir tahun ini utamanya disebabkan oleh kenaikan suku bunga bank sentral Jepang yang naik ke level 0,75%. Kondisi ini mendorong para investor terpaksa melikuidasi aset kripto mereka, khususnya Bitcoin (BTC).

Dengan adanya potensi QE ditambah faktor potensi berakhirnya masa jabatan Ketua Federal Reserve Jerome Powell pada Mei 2026, ini dinilai berpotensi besar untuk menyokong harga BTC ke depan.

“Jika Trump mengganti Powell, maka ada potensi penurunan bunga yang kini di 3,50%-3,75% jadi 1%. Sambil menunggu QE, jika itu terjadi maka harga BTC dan saham Amerika pasti akan berterbangan,” terang Gabriel kepada Kontan, Jumat (19/12/2025).

Jika skenario itu terjadi, Gabriel pun menarget harga BTC bisa kembali menembus all-time-high (ATH) pada tahun 2026.

“Paling minim BTC bisa ke US$ 120.000, saya rasa level paling masuk akal di angka tersebut,” tandasnya.

Pun sama halnya, Analis Tokocrypto Fyqieh Fachrur menyebut bahwa dampak QE akan berpeluang lebih besar menyokong harga aset kripto dibandingkan aset tradisional seperti emas, komoditas, maupun properti.

Hal ini karena karakter kripto yang lebih volatil dan sensitif terhadap likuiditas. Dalam fase pelonggaran moneter, arus modal sering mengalir ke kripto sebagai aset berisiko tinggi dengan potensi imbal hasil besar. 

Selain itu, korelasi kripto, khususnya BTC dengan pasar saham juga cenderung menguat, menandakan kripto semakin diperlakukan sebagai bagian dari risk-on trade global. 

“Tak heran jika QE kerap disebut sebagai katalis potensial akselerasi bull market kripto,” ujar Fyqieh.

Tetapi, Fyqieh menekankan jika besarnya dampak QE ke kripto sangat bergantung pada skala dan durasinya. QE yang moderat mungkin hanya memicu pemulihan atau penguatan bertahap, bukan lonjakan ekstrem. 

Sebaliknya, jika ekspansi likuiditas besar seperti era pandemi 2020-2021 terulang, efeknya ke kripto bisa jauh lebih signifikan. Meski demikian, risiko struktural seperti regulasi, volatilitas tinggi, dan dinamika spesifik tiap aset tetap menjadi faktor pembatas, sehingga QE bukan jaminan otomatis terjadinya super bull run di pasar kripto.

Sebaliknya, Co-founder CryptoWatch dan Pengelola Channel Duit Pintar Christopher Tahir justru menyebut bahwa kebijakan QE tidak akan secara langsung berdampak terhadap harga aset kripto.

“Karena, kripto masih menjadi aset terakhir yang dipilih karena volatilitasnya. Sehingga, biasanya kripto hanya dapat cipratan alih-alih likuiditas utamanya,” jelas Chris.

Menurutnya, QE yang berpotensi terjadi pada tahun 2026 ini bisa jadi penggerak yang mengulangi pola siklus tahun 2020 silam, di mana kondisinya serupa tetapi perbedaan ada pada tingginya angka inflasi saat ini. Sehingga, dia memproyeksi dampaknya tidak akan terlalu besar terhadap pasar kripto sekiranya hingga semester pertama tahun 2026. Dengan minimnya katalis yang dapat mendongkrak pasar kripto, dia justru memproyeksi sebaliknya, di mana harga BTC akan terus menyusut bahkan bisa menyentuh US$ 40.000 di sepanjang tahun 2026.

Baca Juga: Menimbang Prospek Kinerja MDKA, MBMA, dan EMAS pada 2026, Begini Rekomendasinya

Selanjutnya: Bank bjb Syariah Tetap Optimistis Menjaga Kinerja hingga Akhir 2025

Menarik Dibaca: Kenaikan Suku Bunga BoJ Guncang Pasar Kripto, Begini Saran bagi Investor

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×