Reporter: Auriga Agustina | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor perbankan tengah menghadapi krisis likuiditas. Meski demikian, bukan berarti hal itu sepenuhnya menjadi sentimen negatif.
Aditya Perdana Putra, analis Semesta Indovest, menyebut, kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga bisa memberi sentimen positif bagi kinerja bank. "Perbankan bisa mendapatkan porsi margin yang lebih besar karena akumulasi bunga jadi naik," ujar dia, Rabu (26/9).
Sebab, pendapatan bunga masih menjadi penyumbang terbesar perolehan laba perbankan kategori Bank Umum Kategori Usaha (BUKU) IV. Jika diakumulasi, nilainya mencapai sebesar Rp 183,32 triliun, yang berasal dari penyaluran kredit mencapai Rp 5.028,74 triliun.
Cuma memang, kebijakan tersebut bak koin dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi kenaikan bunga acuan bisa menjadi penyelamat, tapi di sisi lain juga membuat kucuran kredit kian seret.
Indikasi tersebut sudah mulai terlihat. Loan to deposit ratio (LDR) perbankan saat ini sudah menembus 92%. Padahal, menurut BI, batas atas LDR ada di level 92%. Sedang, batas bawah rasio yang menunjukkan perbandingan penyaluran kredit dengan perolehan dana pihak ketiga (DPK) ada di level 78%.
Risiko kredit macet
Semakin ketatnya likuiditas bakal membuat perbankan cenderung mengambil sikap lebih konservatif. Bank tak lagi menggenjot penyaluran kredit. "Jika likuiditas mengetat, perbankan akan menahan penyaluran kredit. Ini untuk menghindari risiko kredit macet yang lebih tinggi," jelas Reza Priyambada, analis senior CSA Research Institute.
Cuma memang, hal tersebut tak bisa dihindari. Maklum saja, kenaikan rasio non-performing loan (NPL) lebih berisiko ke kinerja emiten bank ketimbang perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit.
Sebab, jika level NPL tinggi, hal tersebut bakal menyulitkan bisnis perbankan. Bank akan sulit memutar dana antara deposan dan penerima kredit. Hal ini bisa menimbulkan dampak sistemik.
Sehingga, menurut Reza, menaikkan bunga kredit masih menjadi cara yang paling efektif. Terlebih, saat ini suku bunga acuan berpotensi naik. "Ini juga menjadi alasan tambahan bank menaikkan bunga," imbuh Reza.
Reza menilai saham-saham emiten perbankan masih menarik dikoleksi. Cuma, investor perlu atur strategi. Reza lebih menjagokan saham bank lapis kedua. Sebab, valuasinya masih murah.
Saham BNGA misalnya. Valuasi price to book value (PBV) price to book value saham ini masih di level 0,6 kali, dengan posisi net profit margin 15,38%.
Sedang saham BJTM memiliki PBV 1,22 kali. Net profit margin emiten ini malah lebih tinggi, yakni 28,51 kali.
Bandingkan dengan saham BBNI yang memiliki PBV 1,39 kali. Ini menjadi alasan Reza merekomendasikan buy saham BNGA dan BJTM, dengan target harga masing-masing Rp 1.140 per saham dan Rp 750 per saham.
Sedang Aditya lebih konservatif. Dia merekomendasikan hold saham berkapitalisasi besar seperti BBRI, BBCA, dan BBNI. "Setidaknya hingga akhir tahun," imbuh dia.
Alasannya, fundamental saham bank big caps masih solid. Ini tercermin dari capital adequacy ratio (CAR) yang dimiliki bank BUKU IV, yang di atas 12% sampai 20%.
Kinerja bank big caps juga terus tumbuh. BBNI misalnya. Laba bersih bank pelat merah ini mengalami kenaikan 16% dari Rp 6,41 triliun pada semester satu 2017 lalu menjadi Rp 7,44 triliun pada semester satu tahun ini.
Adapun target harga saham BBRI Rp 3.120 per saham. Sedang target harga saham BBCA dan BBNI masing-masing Rp 24.500 dan Rp 7.600.
Kemarin, harga saham BBRI turun ke level Rp 2.990 per saham. Saham BBNI juga turun 25 poin ke level Rp 7.325 per saham. Hanya saham BBCA yang justru melompat 275 poin ke level Rp 24.200 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News