kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Level CDS Indonesia Terus Naik Imbas Inflasi dan Fenomena Global


Minggu, 12 Maret 2023 / 18:42 WIB
Level CDS Indonesia Terus Naik Imbas Inflasi dan Fenomena Global
ILUSTRASI. Angka CDS Indonesia tenor 5 tahun meningkat 11,38% dalam sepekan terakhir.


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingkat premi risiko investasi atau disebut Credit Default Swap (CDS) terus naik. CDS Indonesia tenor 5 tahun per Jumat (10/3) berada di level 100,47. Angka CDS tersebut meningkat 11,38% dari posisi awal pekan yang berada di level 90,20 per 6 Maret 2023.

Sebagai informasi, CDS adalah produk derivatif berupa kontrak keuangan yang memungkinkan investor untuk menghilangkan atau mengurangi risiko bisnisnya kepada pihak lain yakni dengan cara membayar premi sesuai angka yang disepakati. CDS merupakan kontrak pertanggungan yang diberikan jika terjadi gagal bayar atas suatu utang. Kenaikan angka di indeks CDS menunjukkan bahwa premi asuransinya juga naik.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mencermati bahwa kenaikan angka CDS Indonesia turut dipengaruhi oleh inflasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Meskipun inflasi melandai, namun angka inflasi masih berada pada level yang cukup tinggi, sehingga masih berpotensi mendorong Bank Sentral AS untuk melakukan penyesuaian pada suku bunga acuan mereka.

Baca Juga: Robert Kiyosaki: Bank Ketiga Akan Ambruk Mengikuti Silicon Valey dan Silvergate

Inflasi tersebut menjadi salah satu pendorong aliran kapital yang keluar dari Indonesia itu relatif masih besar. Pada akhirnya ini juga bisa menjadi faktor lain Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga acuannya di periode mendatang.

Dari dalam negeri, lanjut Yusuf, sentimen menjelang bulan Ramadan dan Lebaran akan mempengaruhi angka inflasi. Umumnya, momentum ini bisa mendorong kenaikan inflasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan posisi di bulan sebelumnya.

“Ini juga kemudian bisa menjadi faktor lain yang akan menentukan apakah BI perlu menaikkan suku bunga acuannya kembali,” kata Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (12/3).

Yusuf berujar, faktor global dan domestik mendorong CDS mengalami peningkatan karena investor punya persepsi untuk perlu melakukan penyesuaian saat menilai angka inflasi. Investor perlu melakukan penyesuaian dari imbal hasil obligasi yang mereka pegang.

Baca Juga: Modal Asing Mengalir Keluar dari Pasar Domestik Sepekan Terakhir

Arah CDS Indonesia ke depan berpotensi untuk fluktuatif, kecenderungannya melemah atau menguat akan dipengaruhi berbagai faktor seperti tingkat inflasi, kondisi global ataupun respons dari otoritas moneter terhadap kondisi inflasi dan kondisi global.

Pada kondisi global saat ini, jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB) dianggap Yusuf tidak memiliki pengaruh besar bagi level CDS Indonesia. Pasalnya, surat utang pemerintah AS terutama obligasi jangka pendek masih menawarkan bunga yang relatif lebih tinggi.

Seperti diketahui, Regulator perbankan California pada Jumat (10/3), menutup bank atau pemberi pinjaman yang berfokus pada startup yaitu SVB Financial Group. Ambruknya SVB Financial ini merupakan kegagalan bank terbesar di Amerika Serikat sejak krisis keuangan 2008.

Suku bunga tinggi telah memukul banyak perusahaan rintisan terutama startup teknologi dengan sangat keras, sehingga membuatnya sulit untuk mengumpulkan dana. Hal tersebut mendorong banyak perusahaan teknologi untuk menarik simpanan yang dipegang di SVB untuk kebutuhan operasi.

Baca Juga: Asing Ambil Untung dan Dolar AS Menguat, CDS Indonesia Kembali Naik pada Februari

Menurut Yusuf, posisi bunga obligasi berada di level yang tinggi di AS tersebut masih menarik bagi mantan nasabah ataupun investor CDS sebagai salah satu bank besar di AS untuk menempatkan dananya di Amerika ketimbang di obligasi Indonesia. Terlebih, dalam jangka pendek ada potensi inflasi di Indonesia akan meningkat karena faktor musiman bulan Ramadan dan Lebaran. Sehingga akan mempersempit spread (selisih) antara bunga dan inflasi tersebut.

“Tentu ini kondisi yang tidak begitu ideal bagi investor jangka pendek, jika berasumsi nasabah SVB memiliki kecenderungan dalam meletakkan dananya di instrumen investasi jangka pendek,” imbuh Yusuf.

Yusuf menambahkan, masalah SVB disebabkan karena permasalahan ketidaksesuaian pengelolaan aset dan liabilitas dari bank tersebut. Ketika mendengar permasalahan itu, banyak dari pemilik dana yang menarik dana dalam jumlah yang tidak sedikit dan dalam periode waktu yang singkat. Akhirnya ini kemudian memperparah kondisi dari SVB.

Baca Juga: Likuiditas Masih Tinggi, Target Lelang SUN Diperkirakan Tercapai pada Selasa (28/2)

Salah satu yang tampaknya menjadi tujuan lain dari investor bank SVB saat ini adalah menempatkan dananya pada surat utang pemerintah AS terutama jangka pendek. Sebab, menilai bunga yang lebih tinggi pada obligasi AS dampak dari kenaikan Fed Fund Rate (FFR).

Seandainya jika obligasi pemerintah Indonesia menjadi salah satu tujuan penempatan dana dari investor ataupun nasabah SVB, maka tentu ini akan meningkatkan permintaan atas obligasi pemerintah Indonesia. Dengan demikian, persepsi risiko gagal bayar menjadi lebih kecil yang bermuara pada lebih rendahnya premi CDS atau dengan kata lain level CDS Indonesia mengalami penurunan.

Kendati demikian, Yusuf mengatakan, naik turunnya CDS merupakan sebuah siklus yang umum terjadi, mengingat CDS ini adalah gambaran terkait persepsi dan kondisi perekonomian saat ini yang dilihat oleh beragam investor.

Ketika level CDS turun, di saat itulah investor bisa masuk kembali obligasi. Sebaliknya, ketika level CDS naik, maka investor dapat mencari alternatif instrumen investasi portofolio yang lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×