Reporter: Nadya Zahira | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (7/6). Mengutip Bloomberg, rupiah di pasar spot ditutup naik 0,42% atau 67,50 poin ke posisi Rp 16.195,5 per dolar AS.
Sementara itu, rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ditutup pada level Rp 16.218 per dolar AS pada Jumat (7/6). Nilai rupiah Jisdor menguat sekitar 0,37% dari sehari sebelumnya yang berada di Rp 16.279 per dolar AS. Dalam sepekan, rupiah Jisdor naik 0,20% dari posisi akhir pekan lalu Rp 16.251 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menyatakan bahwa sentimen terhadap aset berbasis risiko membaik pekan ini setelah Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral Kanada menurunkan suku bunga mereka.
Baca Juga: Antisipasi Rotasi Sektor Saat Turbulensi IHSG, Cek Rekomendasi Saham Unggulan Analis
Menurut Ibrahim, dolar AS melemah karena data ekonomi yang lemah, terutama di sektor tenaga kerja, yang meningkatkan ekspektasi bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga pada September.
"Para pedagang meningkatkan taruhan mereka pada pemotongan suku bunga 25 basis poin pada September," tambahnya. "Hal ini terjadi setelah data tenaga kerja yang lemah muncul sebelum data nonfarm payrolls dirilis pada Jumat lalu (7/5)."
“Hal itu memberikan petunjuk lebih jelas mengenai pasar tenaga kerja dan kebijakan suku bunga. The Fed diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tetap stabil dalam pertemuan minggu depan,” kata Ibrahim dalam publikasi riset, Jumat (7/6).
Ibrahim juga mencatat bahwa di Asia, data perdagangan China menunjukkan perbaikan dengan ekspor tumbuh lebih besar dari perkiraan pada bulan Mei. Meski begitu, impor tumbuh lebih lambat dari yang diharapkan, menunjukkan permintaan lokal yang lemah di tengah pemulihan ekonomi yang tidak merata.
Baca Juga: Pergerakan Rupiah Pekan Depan Disetir Keputusan Soal Suku Bunga The Fed
“Saya menilai sentimen terhadap China telah memburuk dalam beberapa pekan terakhir di tengah keraguan atas pemulihan ekonomi dan langkah-langkah stimulus dari Beijing,” ujarnya.
Dari dalam negeri, Ibrahim menyebut bahwa sentimen positif datang dari Bank Indonesia (BI) yang mencatat cadangan devisa Indonesia sebesar US$ 139 miliar atau setara dengan Rp 2.254,8 triliun pada akhir Mei 2024, naik US$ 2,8 miliar dari bulan sebelumnya. Peningkatan ini dipengaruhi oleh penerimaan pajak, jasa, dan penerbitan global bond pemerintah.
Ibrahim menjelaskan bahwa permintaan dolar AS meningkat untuk kegiatan Haji dan pembayaran dividen serta kupon kepada nonresiden, yang berpotensi menggerus cadangan devisa. Namun, posisi cadangan devisa masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Dengan demikian, Ibrahim memproyeksi bahwa pada perdagangan Senin (10/6), rupiah akan bergerak fluktuatif tetapi ditutup menguat di rentang Rp 16.140 - Rp 16.230.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan bahwa sentimen yang mendorong rupiah menguat adalah data ketenagakerjaan AS, Initial Jobless Claims, yang tercatat mengalami peningkatan, sehingga mendorong ekspektasi pelonggaran data ketenagakerjaan AS.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Pilihan Saat Indeks Syariah Tertekan
“Penguatan rupiah juga didukung oleh data cadangan devisa Indonesia yang meningkat menjadi US$ 139 miliar dari sebelumnya US$ 136,2 miliar,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Sabtu (8/5).
Josua menjelaskan bahwa sepanjang minggu ini, rupiah mampu terapresiasi 0,34% (WtW) karena data AS yang cenderung menunjukkan perlambatan ekonomi, sehingga memicu peningkatan sentimen risk-on di pasar Asia.
Josua pun memprediksi bahwa pada Senin (10/6), rupiah berpotensi bergerak di kisaran Rp 16.075 - Rp 16.275, sejalan dengan potensi apresiasi nilai tukar rupiah pasca rilis data inflasi dan rapat FOMC.
“Data inflasi diperkirakan melambat, dan kami perkirakan the Fed akan memberikan sinyal yang less hawkish pada pekan ini,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News