Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
Desy menambahkan, Pemerintah Indonesia pun masih terus berupaya untuk mengurus kebijakan larangan ekspor mentah bijih nikel. Meskipun sejauh ini belum berhasil memenangkan gugatan dari komisi Uni Eropa, namun Kementerian ESDM berniat untuk pengajuan banding.
Larangan ekspor bijih nikel tersebut pada akhirnya bisa menguntungkan emiten pertambangan nikel di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan supply dan demand, yang dapat menggerakkan harga nikel naik saat pasokan dari Indonesia dibatasi.
Sejauh ini, emiten nikel masih berkomitmen membangun hilirisasi nikel dengan melanjutkan investasinya di Smelter seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Ada pula PT Harum Energy Tbk (HRUM) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) yang mulai merangsek bisnis nikel.
Analis Samuel Sekuritas Olivia Laura dalam riset 6 Oktober 2022 memaparkan bahwa transformasi Harum Energy ditandai dengan akuisisi perusahaan nikel antara lain Nickel Mines Ltd (NIC) sebanyak 6,7%, PT Position sebanyak 51%, dan Infei Metal Industry (IMI) sebanyak 49,0%.
Baca Juga: Menteri Bahlil Usul Pendirian Organisasi Negara-Negara Penghasil Nikel
Selain itu, lewat anak usahanya yakni Harum Nickel Industry (HNI), HRUM juga mengakuisisi 20.0% saham baru yang diterbitkan oleh PT Westrong Metal Industry (WMI) senilai US$ 75,0 juta pada April lalu.
WMI sedang membangun smelter nikel RKEF di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dengan kapasitas produksi tahunan 56kt Nickel Pig Iron (NPI), yang diharapkan beroperasi pada kuartal IV-2023.
Sementara, proyek MDKA yang akan datang adalah proyek tambang tembaga Tujuh Bukit, proyek AIM Wetar, serta tambang emas Pani.
Ekspansi ini nampaknya berkaitan dengan arah ekonomi hijau sehingga membutuhkan nikel sebagai komponen utamanya.
Baca Juga: Regulasi Rantai Pasok & Deforestasi Uni Eropa Tengah Dibahas, Ancam Produk Indonesia?
Olivia mengungkapkan bahwa nikel memang memiliki potensi permintaan yang besar. Salah satunya karena kebutuhan untuk pengembangan industri kendaraan listrik termasuk menciptakan baterai Electric Vehicle (EV).
Pada tahun 2030, industri baterai listrik diproyeksikan menyerap 1,1 juta Metrik Ton (MT) nikel, lebih dari lima kali lipat dari angka saat ini yakni 200 ribu MT.
"Kami memperkirakan industri stainless steel akan tetap menjadi pendorong utama permintaan nikel di masa mendatang. Selain stainless steel, industri lain yang dapat meningkatkan permintaan nikel di masa depan adalah industri baterai EV," ujar Olivia dalam riset, (6/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News