Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih dalam tekanan di sepanjang tahun ini. Salah satunya datang dari kelanjutan soal tapering serta rencana kenaikan suku bunga acuan dari Federal Reserve (The Fed) pada Maret mendatang. Tak hanya itu, dalam jangka pendek ini, katalis-katalis negatif lain juga siap menambah tekanan rupiah
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengatakan, rencana pemerintah untuk membatasi ekspor Crude Palm Oil (CPO) berpotensi memberi sentimen negatif untuk rupiah. Bagaimanapun, CPO merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Dengan berkurangnya ekspor, maka bisa berdampak pada neraca perdagangan.
“Kendati begitu, rencana ini belum jelas soal kepastiannya, dari sisi dampak juga relatif minim dan cenderung bersifat jangka pendek,” ujar Alwi ketika dihubungi Kontan.co.id, Rabu (2/2).
Di satu sisi, Alwi juga menyebut katalis negatif lain bisa berasal dari naiknya harga minyak dunia belakangan ini. Pasalnya, Indonesia merupakan negara yang mengimpor minyak, semakin tinggi harga minyak, maka akan semakin besar juga dampaknya terhadap beban impor.
Alhasil, bisa turut memengaruhi neraca perdagangan Indonesia yang dikhawatirkan bisa membuat surplus jadi turun dan membuat rupiah terkoreksi lebih lanjut.
Baca Juga: Mengintip Peluang Rupiah di Tengah Bayang-Bayang Sejumlah Sentimen Negatif
Selain itu, sentimen negatif lain yang patut diwaspadai adalah penyebaran kasus Covid-19 varian Omicron. Alwi bilang, dengan kasus Covid-19 di Indonesia yang semakin hari semakin tinggi, bisa jadi membuat pemerintah kembali mengetatkan pembatasan sosial. Hal ini pada akhirnya membuat proses pemulihan ekonomi terganggu.
Oleh karena itu, menurutnya, penanganan Covid-19 seharusnya jadi fokus utama saat ini agar tidak muncul gelombang ketiga yang bisa menghambat aktivitas ekonomi ke depan. Sementara untuk katalis negatif selain Covid, ia menilai Indonesia saat ini punya posisi yang kuat dan solid untuk menghadapinya.
“Cadangan devisa dan surplus neraca perdagangan yang solid mengindikasikan Indonesia punya fundamental yang kuat. Apalagi, data manufaktur terbaru mulai tumbuh dan inflasi terjaga sesuai target BI,” imbuhnya.
Baca Juga: Pergerakan Rupiah Pada Kamis (3/2) Akan Bergantung Pada Data ADP Amerika Serikat
Menurutnya, salah satu data terpenting yang sedang diantisipasi adalah data PDB kuartal IV–2021. Jika ternyata angkanya bisa sesuai perkiraan, atau malah lebih tinggi, maka ini semakin menguatkan fundamental Indonesia. Pada akhirnya, hal ini diharapkan dapat menarik minat investor asing masuk ke Indonesia dan bisa bantu stabilkan nilai tukar rupiah.
Alwi memperkirakan, untuk semester I-2022, rentang rupiah akan ada di kisaran Rp 14.180 - Rp 14.485 per dolar AS. Sementara untuk akhir tahun 2022, rupiah diproyeksikan berada di area Rp 14.400 per dolar AS seiring adanya kenaikan suku bunga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News