kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.367.000   7.000   0,30%
  • USD/IDR 16.731   21,00   0,13%
  • IDX 8.389   22,05   0,26%
  • KOMPAS100 1.163   3,35   0,29%
  • LQ45 847   4,23   0,50%
  • ISSI 292   0,76   0,26%
  • IDX30 446   3,97   0,90%
  • IDXHIDIV20 513   3,54   0,69%
  • IDX80 131   0,41   0,31%
  • IDXV30 138   0,55   0,40%
  • IDXQ30 141   0,94   0,67%

Kinerja Wijaya Karya (WIKA) Masih Berat, Cermati Prospeknya


Rabu, 12 November 2025 / 19:46 WIB
Kinerja Wijaya Karya (WIKA) Masih Berat, Cermati Prospeknya
ILUSTRASI. Kinerja PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) merugi Rp 3,21 triliun pada kuartal III 2025 akibat proyek Whoosh dan beban utang Rp 29 triliun.


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) masih penuh tantangan. Beratnya kinerja perseroan salah satunya disebabkan oleh polemik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh.

Direktur Utama WIKA Agung Budi Waskito mengatakan, perseroan punya dua peran dalam proyek Whoosh ini. 

Pertama, sebagai investor. Di peran ini, WIKA melakukan penyertaan modal di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar Rp 6,1 triliun atau setara 32% dari total saham PSBI.

“Penyertaan ini berdampak paling utama, karena Whoosh ini masih mengalami kerugian karena tiket yang diperoleh masih belum belum sesuai rencana awal,” ujarnya dalam Public Expose WIKA, Rabu (12/11),

Baca Juga: Begini Capaian Kinerja Wijaya Karya (WIKA) hingga Agustus 2025

Kedua, WIKA berperan sebagai satu-satunya kontraktor dari pihak lokal yang tergantung dalam konsorsium bersama sejumlah kontraktor yang tergabung dalam PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Sebagai kontraktor, Wijaya Karya menangani sekitar 25% porsi konstruksi bawah alias fondasi, termasuk pekerjaan timbunan dan galian tanah.

Selama proses pembangunan Whoosh, WIKA memiliki klaim atas cost overrun senilai Rp 5,01 triliun. Klaim yang masuk piutang dalam penyelesaian kontrak (PDPK) itu tengah diajukan kepada KCIC.

Agung mengaku, WIKA tengah menangani proses dispute, yang jika tidak disetujui, bisa menelan kerugian yang cukup besar. Proses pengajuan klaim tengah berproses di Singapore International Arbitration Centre (SIAC). 

Alhasil, perseroan pun tengah menunggu proses penyelesaian polemik Whoosh ini. Salah satu opsi bisa terjadi pengambilalihan investasi empat pemegang saham PSBI, yaitu PT Kereta Api Indonesia (KAI), WIKA, PT Jasa Marga Tbk (JSMR), dan PTPN, oleh pemerintah.

“Itu kami sedang menunggu. Tentunya, kalau ini diambil oleh pemerintah, akan berdampak positif untuk WIKA,” katanya.

Baca Juga: Wijaya Karya (WIKA) Harus Genjot Kontrak Baru untuk Pulihkan Kinerja Keuangan

Asal tahu saja, WIKA mengantongi rugi bersih Rp 3,21 triliun per kuartal III 2025. Ini bahkan berbanding terbalik dari laba bersih Rp 741,43 miliar pada kuartal III tahun lalu.

Sejumlah beban WIKA terpantau naik di periode ini. Salah satunya ada pos bagian rugi pengendalian bersama yang naik dari Rp 669,64 miliar menjadi Rp 1,1 triliun per kuartal III 2025. 

Pada laporan keuangan 30 September 2025, tercatat bahwa KSO WIKA-CRIC-CRDC-CREC-CRSC mencatat saldo PDPK atas proyek High Speed Railway Jakarta-Bandung milik KCIC sebesar Rp 5,01 miliar, yang merupakan klaim atas cost overrun.

Untuk memperbaiki kinerja, WIKA juga masih secara intensif melakukan penyehatan keuangan, mulai dari penyusunan Master Restructuring Agreement (MRA) dan divestasi aset.

Baca Juga: Wijaya Karya (WIKA) Fokus Tuntaskan Proyek, meski Skema PMN Beralih ke Danantara

Agung bilang, pihaknya tengah menyiapkan restrukturisasi keuangan untuk kedua kalinya di tahun 2026. Restrukturisasi jilid II ini dilakukan lantaran MRA di tahun 2024 dirasa kurang memadai lantaran penurunan raihan nilai kontrak WIKA sepanjang tahun 2025.

Pada tahun 2024, WIKA dan sejumlah lembaga keuangan merampungkan MRA dengan nilai outstanding Rp20,79 triliun.

Sementara, hingga September 2025, WIKA hanya mampu mengantongi kontrak baru sebesar Rp 6,19 triliun. Ini anjlok 60,25% YoY dari Rp 15,58 triliun per September 2024 dan jauh dari target tahun 2025.

Penurunan nilai kontrak WIKA membuat pendapatan turun 27,54% YoY ke Rp 9,09 triliun per September 2025. 

“Karena pendapatan WIKA turun, sehingga memang tidak mempunyai cukup arus kas masuk untuk membayar kewajiban-kewajiban yang ada di tahun 2025,” ujarnya.

Menurut Agung, total utang berbunga WIKA mencapai Rp 29 triliun hingga akhir September 2025. “Ini terdiri atas utang perbankan senilai Rp 19 triliun, serta obligasi dan sukuk sebesar Rp 10 triliun,” katanya.

Meskipun begitu, nilai outstanding total MRA Jilid II WIKA di tahun 2026 masih dalam tahap pembahasan dan akan disampaikan lebih lanjut di kemudian hari.

Baca Juga: Likuiditas Seret, Wijaya Karya (WIKA) Andalkan Restrukturisasi dan Dukungan Danantara

Direktur Keuangan WIKA Sumadi menambahkan, WIKA juga akan melakukan restrukturisasi obligasi dan sukuk.

Rapat umum pemegang obligasi (RUPO) dan rapat umum pemegang sukuk (RUPSU) juga sudah dijadwalkan untuk diselenggarakan di awal Desember 2025.

“Kami sudah meminta ada restrukturisasi terkait dengan penangguhan pemberian kewajiban itu,” katanya.

Beberapa aset non-core WIKA juga akan dilepas. Salah satunya adalah Tol Serang-Panimban yang dimiliki secara mayoritas, sekitar 85%.

Namun, tol ini belum akan didivestasikan hingga tahun 2027 lantaran proses pengerjaan masih berlanjut. Sampai hari ini, Tol Serang Panimban yang baru beroperasi baru Seksi I sepanjang 20 kilometer (km) dari Serang menuju Rangkasbitung. 

Seksi II ditargetkan mulai beroperasi di pertengahan tahun 2026. Sementara, Seksi III Tol Serang-Panimban baru akan selesai pada 2027.

Lebih lanjut, Sumadi menuturkan, pihaknya sudah melakukan audiensi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait suspensi saham WIKA. 

Audiensi itu membahas terkait kondisi terkini perseorangan dan meminta dukungan dari BEI terkait upaya penyehatan keuangan WIKA, termasuk usaha mendapatkan izin dari pemegang obligasi dan sukuk terkait penangguhan pembayaran pokok kewajiban.

Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan, kinerja WIKA hampir sama parahnya dengan emiten BUMN Karya peers, PT Waskita Karya Tbk (WSKT). 

“Utang WIKA sudah sekitar 9x lebih dari ekuitasnya dan terus merugi hingga saat ini,” katanya kepada Kontan, Rabu (12/11).

Baca Juga: Wijaya Karya (WIKA) Rampungkan Proyek Jalan Sumbu Kebangsaan Sisi Timur di IKN

Budi melihat, tekanan pada kinerja WIKA memang disebabkan oleh proyek Whoosh dengan tagihannya kepada pemerintah sekitar 28% dari total proyek Rp6,2 triliun yang belum dilunasi.

Opsi penyelesaian polemik Whoosh seharusnya bisa diselesaikan oleh Danantara, bukan menggunakan APBN. Sebab, ruang gerak fiskal APBN sudah sangat terbatas.

Namun, apa pun yang dipilih, harus ada negosiasi untuk menurunkan suku bunga dan pengurangan pokok utang.

“Alternatif lain, kepemilikan China diperbesar, sehingga bagian kita tidak sebesar sekarang atau swap debt to equity,” katanya.

Baca Juga: RUPO dan RUPSU Wijaya Karya (WIKA) Gagal Kuorum Lagi

Di tengah tekanan tersebut, opsi merger dengan BUMN Karya bisa segera dilakukan tanpa harus menunggu perusahaan bermasalah untuk sehat terlebih dulu. 

“Pemerintah perlu menyelesaikan tagihan-tagihannya kepada WIKA. Lalu, WIKA juga menjual aset-aset yang dimiliki (divestasi) untuk menurunkan utangnya, sehingga rasio utangnya tidak eksesif seperti saat ini,” tuturnya.

Selanjutnya: Investasi Emas di Indonesia Masih Potensial, Begini Strategi dan Proyeksi Harganya

Menarik Dibaca: Hasil Kumamoto Masters 2025, Empat Wakil Indonesia Menembus Babak 16 Besar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×