Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja obligasi korporasi berhasil jadi yang paling tinggi di antara instrumen investasi lain sepanjang delapan bulan tahun terakhir. Merujuk Bloomberg, sejak awal tahun hingga Selasa (31/8), kinerja obligasi korporasi yang tercermin dari IndoBex Corporate Bond naik hingga 7,27%.
Berikut kinerja sejumlah instrumen investasi, berdasarkan data Bloomberg, Logammulia, Coinmarketcap:
Portofolio | Akhir 2020 | Agustus 2021 | Return ytd (%) |
Bitcoin (US$ per Btc) | 29.096,69 | 47.396,51 | 62,89% |
Obligasi korporasi (Indobex Corporate Bond) | 333,07 | 357,28 | 7,27% |
Obligasi negara (Indobex Gov. Bond) | 309,05 | 321,67 | 4,08% |
IHSG | 5.979,07 | 6.150,3 | 2,86% |
GBP/IDR | 19.202 | 19.647,04 | 2,32% |
USD/IDR | 14.050 | 14.268 | 1,55% |
SGD/IDR | 10.629 | 10.614,5 | -0,14% |
EUR/IDR | 17.284 | 16.864,06 | -2,43% |
AUD/IDR | 10.831 | 10.457,55 | -3,45% |
Emas kontrak Agustus (US$ per ons troi) | 1.899 | 1.817,7 | -4,28% |
Emas spot (US$ per ons troi) | 1.898 | 1.813,62 | -4,45% |
JPY/IDR | 136,23 | 129,82 | -4,71% |
Emas Antam (Rp per gram | 965.000 | 836.000 | -13,37% |
Investment Specialist Sucorinvest Asset Management Toufan Yamin menjelaskan, kinerja apik obligasi korporasi tidak terlepas dari stabilnya harga instrumen ini ketika obligasi negara mengalami volatilitas. Namun, terbaru, membaiknya kondisi pasar obligasi juga membuat obligasi korporasi mencatatkan kinerja apik.
“Rally yang terjadi di SBN dalam beberapa waktu terakhir seiring dengan mulai masuknya investor asing. Hal ini lantaran spread (selisih yield) SBN dengan US Treasury yang melebar, lalu kita punya real yield yang menarik seiring angka inflasi yang rendah, hingga rupiah yang stabil dalam dua tahun terakhir,” kata Toufan kepada Kontan.co.id, Rabu (1/9).
Baca Juga: Optimalkan imbal hasil, investor memburu obligasi korporasi
Apalagi, secara valuasi, obligasi negara maupun korporasi disebut Toufan masih undervalued. Sentimen positif yang menyelimuti pasar obligasi pada akhirnya ikut mengangkat kinerja obligasi korporasi yang secara kinerja memang lebih unggul dibanding obligasi negara.
Sementara untuk pasar saham, Toufan melihat justru melihat ada tantangan yang tengah dihadapi pasar saham Indonesia. Menurutnya, secara tren kini investor lebih memburu saham dari sektor teknologi karena merupakan growth stock. Di Indonesia sendiri, keberadaan saham teknologi masih sangat minim sehingga membuat investor asing kurang begitu melirik instrumen yang satu ini.
Namun, dia menilai keputusan The Fed melakukan tapering akan bisa jadi katalis positif untuk pasar saham ke depan. Hal ini terlihat dari kinerja indeks LQ45 yang berhasil mengalahkan IHSG dalam sebulan terakhir. Tercatat LQ45 berhasil naik 3,65% sementara IHSG justru terkoreksi 0,09%.
Baca Juga: Pelaku pasar menanti data tenaga kerja AS, rupiah bergerak flat
“Jadi mulai ada tren para investor beralih ke value stock, dari sebelumnya growth stock. Alhasil saham-saham blue chips mulai kembali jadi incaran, apalagi dari segi valuasi juga sudah mengalami diskon. Diperkirakan ketika tapering mulai berlaku, saham blue chips yang akan unggul, sementara growth stock berbasis teknologi akan mulai berkurang,” imbuh Toufan.
Hanya saja, dalam empat bulan terakhir di tahun ini, Toufan meyakini saham teknologi masih akan jadi faktor penopang IHSG. Apalagi, akan ada rencana IPO dari startup teknologi lainnya, yakni GoTo. Walau begitu, ia mengingatkan risiko pada sektor teknologi jauh lebih besar mengingat downside risk-nya juga besar, berbeda dengan saham blue chips yang sudah minim risiko penurunan.
Oleh karena itu, selama investor punya time horizon yang panjang, Toufan menyarankan investor untuk masuk ke saham blue chips atau reksadana saham. Menurutnya, saat ini jadi entry point yang tepat sebelum pasar mengalami rebound ketika The Fed sudah mengumumkan teknis pelaksanaan tapering pada FOMC September.
Baca Juga: Obligasi korporasi ikut ketiban sentimen positif di tengah rally SBN
“Saham-saham perbankan bisa dipertimbangkan karena valuasinya yang murah, lalu emiten komoditas seperti batubara, CPO, dan emas juga masih menarik. Ketika ada tapering, angka inflasi akan ikut naik, dan harga komoditas akan berkorelasi dengan kenaikan inflasi. Sehingga penguatan saham komoditas masih bisa berlangsung setidaknya setahun-dua tahun lagi,” kata Toufan.
Sementara untuk obligasi, Toufan melihat rally yang terjadi belakangan ini akan membatasi potensi upside obligasi ke depan. Walau begitu, ia meyakini tapering juga tidak akan memberi dampak yang signifikan mengingat kondisi saat ini berbeda dengan 2013 silam. Selain itu, dengan rupiah yang stabil, dan SBN masih undervalued, investor asing masih akan tetap memilih obligasi sehingga menyisakan upside terbatas untuk instrumen obligasi pada sisa tahun ini.
Baca Juga: IHSG berpeluang rebound pada Kamis (2/9)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News