Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten LQ45 telah melaporkan kinerja keuangan per kuartal ketiga 2022. Mayoritas emiten melaporkan pertumbuhan laba bersih hingga dua digit.
Salah satu sektor yang berkinerja moncer adalah sektor perbankan, dimana kinerja emiten sektor ini melebihi estimasi analis dan juga estimasi konsensus. Ambil contoh PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Laba bersih BBNI yang menyentuh angka Rp 13,7 triliun atau naik 71,7% year-on-year (YoY) berada di atas perkiraan analis BRI Danareksa Sekuritas Eka Savitri. Kinerja BBNI juga berada di atas estimasi konsensus. Menurut Eka, capaian ini disebabkan karena penurunan biaya kredit sebesar 198 basis points (bps)
Pun demikian, laba bersih PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang naik 24,8% YoY menjadi Rp 29,0 triliun melebihi perkiraan BRI Danareksa Sekuritas yang mencerminkan 81,6% dari proyeksi. Namun, laba bersih BBCA masih sejalan dengan estimasi konsensus yang mewakili 78,8% dari estimasi laba bersih di 2022
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Bank Pilihan, Mayoritas Valuasi Masih Murah
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo menilai, moncernya kinerja emiten perbankan diperkirakan masih berlanjut hingga akhir tahun ini. Proyeksi ini menimbang kondisi akselerasi penyaluran kredit yang masih terjadi hingga kuartal ketiga 2022, dimana pertumbuhan kredit nasional masih bertumbuh hingga 11% secara tahunan per September 2022. Selain itu, dampak kenaikan suku bunga dan naiknya inflasi belum sepenuhnya mempengaruhi kinerja emiten perbankan.
Hanya saja, dengan tren kenaikan suku bunga acuan yang agresif akhir-akhir ini serta tingginya laju inflasi akibat lonjakan harga komoditas energi, membuat pertumbuhan kinerja keuangan emiten sektor perbankan berpotensi melambat di tahun 2023.
“Ini karena kondisi inflasi dan suku bunga yang meningkat berpotensi menghambat pertumbuhan penyaluran kredit,” terang Praska kepada Kontan.co.id, Minggu (30/10)
Baca Juga: Sejumlah Emiten LQ45 Melaporkan Kinerja, Emiten Bank dan Tambang Memimpin
Tak hanya emiten perbankan, emiten tambang batubara juga berhasil mencetak kinerja impresif. Ambil contoh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang membukukan laba bersih Rp 10 triliun hingga kuartal ketiga 2022. Jumlah ini naik 110% dibanding periode yang sama di tahun lalu alias secara year-on-year (YoY) yang senilai Rp 4,8 triliun.
Meski laba bersih naik lebih dari dua kali lipat, kinerja PTBA masih di bawah estimasi analis Aldiracita Sekuritas Timothy Gracianov. Ada beberapa hal yang membuat kinerja PTBA di bawah estimasi.
Pertama, volume penjualan yang lebih lambat dari produksi, dikarenakan kapasitas angkutan yang belum berkapasitas penuh sesuai ekspektasi. Kedua, tarif royalti yang baru bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) telah diimplementasikan sehingga menyebabkan biaya produksi naik. Ketiga, cash cost mengalami kenaikan di kuartal ketiga 2022 yang berasal dari mining services.
Timothy melihat, menjelang akhir tahun, beberapa negara akan bersiap untuk mengumpulkan persediaan (restock) persediaan untuk musim dingin. Walaupun permintaan batubara akan meningkat, ini juga diiringi supply yang cukup memadai.
Baca Juga: Indeks IDX Sharia Growth Meluncur Awal Pekan Depan
"Sehingga, kami tidak berharap banyak harga batubara bisa mencatatkan kenaikan yang eksponensial kembali,” terang Timothy kepada Kontan.co.id, Minggu (30/10).
Menurut Praska, kinerja keuangan emiten sektor tambang, khususnya batubara, diperkirakan masih akan moncer hingga akhir 2022. Kenaikan harga rata-rata komoditas, seperti logam dan batubara sepanjang tahun ini dibanding tahun lalu menjadi kontributor peningkatan pendapatan emiten di sektor ini. Ditambah, belum ada tanda-tanda berakhirnya perang antara Rusia-Ukraina serta kebutuhan komoditas energi, khususnya batubara menjelang musim dingin menjadi sentimen penopang harga batubara.
Namun, pertumbuhan kinerja emiten sektor komoditas tahun depan juga diperkirakan mulai kembali normal dan tidak sesignifikan seperti tahun 2021 dan 2022. Proyeksi ini dengan menimbang akselerasi kenaikan harga komoditas mulai menurun, sejalan dengan kebijakan kenaikan suku bunga The Fed yang agresif dan penguatan indeks Dolar AS. Akibatnya, sentimen kekhawatiran perlambatan bahkan resesi ekonomi pun memicu penurunan pada harga komoditas sekaligus membuat harga rata-rata komoditas tambang di tahun 2023 berpotensi tertekan.
Baca Juga: IHSG Melemah ke 7.056 Hingga Pada Jumat (28/10), Net Buy Asing Rp 1,46 Triliun
Kinerja Emiten Konsumsi Moderat
Berbeda nasib, kinerja beragam dicatatkan oleh emiten yang bergerak di sektor barang konsumsi. Misal, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) mengantongi laba sebesar Rp 4,61 triliun. Nilai tersebut hanya tumbuh 5,31% secara tahunan. Bahkan, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) mencatatkan penurunan kinerja. Laba bersih HMSP terpangkas 11,71% dari Rp 5,55 triliun per kuartal ketiga 2021 menjadi Rp 4,90 triliun per September 2022.
Menurut Praska, kinerja emiten p sektor barang konsumsi yang bersifat pokok akan cukup bervariatif tahun ini. Tingginya laju inflasi dan kenaikan suku bunga acuan berpotensi menghambat akselerasi kinerja emiten di kuartal ketiga dan keempat 2022, bahkan bisa berlanjut hingga tahun depan. Hal ini sudah terefleksi pada indeks keyakinan konsumen yang menurun pada September 2022.
Sementara untuk emiten rokok, kinerja akan masih tertekan didominasi imbas kenaikan cukai yang berdampak negatif pada penjualan di 2022 dan 2023. “Selain itu, kenaikan inflasi juga turut mengurangi margin keuntungan,” pungkas Praska.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News