Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri properti China saat ini sedang melesu. Hal ini menyebabkan perusahaan properti terbesar di China, Evergrande mengalami kebangkrutan yang cukup parah.
Untuk membangkitkan gairah di sektor ini, China mengumumkan pelonggaran terkait kredit pemilikan rumah (KPR) untuk menghentikan kemerosotan pasar properti residensial dan menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi negeri tirai bambu tersebut.
Analis Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai, tumbangnya sektor properti China akan berdampak pada harga nikel. Sebab, mayoritas penggunaan nikel adalah untuk baja anti karat (stainless steel) yang pada umumnya digunakan untuk sektor properti.
Baca Juga: Laba Perusahaan Industri China Anjlok 6,7% di Bulan Juli
“Seiring penurunan permintaan baja dari sektor ini berpotensi menurunkan produksi baja yang pada akhirnya menurunkan permintaan nikel,” kata Felix kepada Kontan.co.id, Senin (28/8).
Selain itu, peningkatan produksi nikel dari Indonesia dan China berpeluang melebihi dari jumlah permintaan, yang pada akhirnya menjadi katalis negatif untuk komoditas nikel.
Namun, terdapat stimulus yang diberikan oleh otoritas terkait kepada sektor properti yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan permintaan.
Oleh karena itu, Panin Sekuritas menyematkan rating netral untuk sektor pertambangan logam. Felix memperkirakan harga rata-rata nikel pada 2023 akan berada di kisaran US$ 24.000 sampai US$ 25.000 per ton.
Baca Juga: Agung Podomoro (APLN) Optimistis Pertumbuhan Sektor Properti Domestik Masih Tinggi
Per Jumat (25/8), harga nikel London Metal Exchanges untuk kontrak September 2023 berada di level US$ 20.641 per ton. Harga nikel sempat menyentuh level terendah sejak Juli 2023 pada perdagangan 15 Agustus 2023, yakni di level US$ 19.608 per ton.