Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rekadana dipandang menjadi pilihan diversifikasi yang menarik di tengah ketidakpastian global yang tinggi.
Chief Investment Insight Investments Management, Camar Remoa mengatakan bahwa dengan Trade War 2.0 mendorong ketidakpastian global. Hal itu juga memicu volatilitas di pasar global, termasuk Indonesia.
Contohnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan hingga -9% ke 5.912 pada Selasa (8/4), sebelum akhirnya rebound +5,9% ke level 6.262 pada Jumat (11/4). Hal tersebut menyusul kabar penundaan tarif tambahan oleh Trump.
Baca Juga: IHSG Menguat, Cek Rekomendasi Teknikal ADMR, BUKA, dan BBNI Untuk Rabu (30/4)
Meski begitu, situasi ini tetap bisa menjadi peluang untuk memperkuat portofolio. Apalagi, mengingat porsi ekspor ke AS yang relatif kecil terhadap PDB sehingga Indonesia memiliki fleksibilitas lebih besar untuk menyusun kebijakan perdagangan dan mengelola dampaknya secara bijak.
"Volatilitas harga pada pasar modal, justru bisa menjadi peluang bagi investor, selama mampu mengelola risiko melalui diversifikasi dan menyesuaikan strategi dengan horizon investasi masing-masing,” ujar Camar dalam keterangan tertulis, Selasa (29/4).
Strategi Investor
Di tengah volatilitas yang tinggi, Camar menyampaikan bahwa langkah penting bagi investor jangka pendek adalah menjaga likuiditas. Karenanya, instrumen pasar uang menawarkan fleksibilitas tinggi dan risiko relatif rendah, sambil menunggu momentum pembalikan arah pasar yang lebih jelas.
Ia menyarankan, reksadana pasar uang dengan tenor kurang dari satu tahun bisa menjadi pilihan. Sebab, bisa menjadi lebih defensif terhadap volatilitas pasar.
Sementara bagi investor dengan time horizon menengah hingga panjang, kombinasi instrumen fixed income dan saham menjadi strategi yang lebih moderat namun tetap berpeluang. Terlebih, sambungnya, valuasi saham saat ini cukup menarik untuk bottom?fishing bertahap, dan yield obligasi pemerintah di level 7% memberikan entry point yang solid.
Camar memaparkan, jika merujuk pada data historis, pasar saham Indonesia menunjukkan pola pemulihan yang kuat pasca krisis. Sebagai contoh, setelah IHSG mencapai harga terendah pada 28 Oktober 2008 di tengah krisis keuangan global, indeks mencatatkan kenaikan sebesar 44,22% dalam waktu enam bulan, dan melonjak hingga 117,44% dalam waktu dua belas bulan.
Hal serupa terjadi setelah pandemi COVID-19 mengguncang pasar pada Maret 2020. Enam bulan setelah mencapai titik terendah pada 24 Maret 2020, IHSG naik 25,16%, dan dalam kurun satu tahun, mencatatkan kenaikan sebesar 59,71%.
Data historis ini menunjukkan bahwa strategi jangka menengah hingga panjang, terutama dengan melakukan akumulasi secara bertahap saat valuasi menarik, berpotensi memberikan imbal hasil yang signifikan. "Kombinasi saham berfundamental kuat dan obligasi dengan yield kompetitif di level 7% dapat menjadi dasar strategi yang seimbang di tengah ketidakpastian pasar," imbuhnya.
Baca Juga: Rupiah Diperkirakan Lanjut Menguat Terbatas, Ini Pendorongnya
Selanjutnya: Paus Fransiskus Hanya Miliki Kekayaan Rp2,2 Juta Meski Bergaji Rp6,7 Miliar per Tahun
Menarik Dibaca: Cerah hingga Berawan, Simak Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (30/4)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News