Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko berinvestasi Indonesia kembali mengalami kenaikan seiring persepsi investor terhadap risiko investasi Indonesia yang tercermin dalam credit default swap (CDS) kembali mengalami kenaikan.
Jumat (26/3), CDS tenor 5 tahun ditutup di level 86,51. Sementara CDS tenor 10 tahun ditutup di level 152,11. Kedua level tersebut merupakan level tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Head of Fixed Income Trimegah Asset Management Darma Yudha mengungkapkan, kenaikan level CDS Indonesia saat ini merupakan hal yang wajar jika berkaca dari situasi pasar keuangan saat ini. Kondisi kenaikan kali ini juga relatif masih aman, tidak setajam ketika awal pandemi Covid-19 terjadi pada tahun lalu.
Baca Juga: Pergerakan yield US Treasury jadi sentimen utama pada lelang SBN Selasa (30/3)
“Kenaikan CDS tidak terlepas dari adanya ekspektasi pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat dari perkiraan. Di AS kan vaksinasi berjalan lebih cepat dari perkiraan, ekspektasi inflasi juga naik, sehingga yield US Treasury pun ikut naik,” terang Yudha ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (26/3).
Yudha juga menambahkan, adanya insiden kapal kargo yang tersangkut di Terusan Suez ikut memperburuk keadaan. Pasar mengkhawatirkan akan ada lonjakan harga minyak akibat insiden tersebut, yang pada akhirnya bisa membuat harga komoditas naik. Jika hal tersebut terjadi, inflasi pun bisa ikut naik. Ia menilai, berbagai kondisi ini pun akhirnya menekan emerging market.
Walau begitu, Yudha meyakini kenaikan CDS ini hanya akan bersifat sementara dan ke depan akan berangsur turun. Menurutnya, ini tidak terlepas dari seluruh sentimen saat ini pada dasarnya masih hanya sebatas ekspektasi, atau kekhawatiran. Sehingga, ketika semua mereda, CDS pun akan ikut terkerek turun.
Baca Juga: Beli menara Rp 3,98 triliun, Tower Bersama (TBIG) minta restu RUPSLB akhir Maret 2021
“Berbeda dengan kondisi pandemi di mana investor memang beralih ke safe haven, saat ini sebenarnya pasar justru tengah risk on. Apalagi, sekalipun inflasi naik, bank sentral dunia juga masih akan terus menambah likuiditas dengan berbagai program quantitative easing, dan suku bunga juga belum akan dinaikkan dalam waktu dekat,” imbuh Yudha.
Yudha justru menilai ekonomi Indonesia harus bisa pulih cepat untuk memanfaatkan momentum saat ini. Salah satunya adalah melalui percepatan vaksinasi agar aktivitas ekonomi segera kembali berjalan normal. Pasalnya, ia menyebut secara fundamental kondisi Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di antara emerging market lainnya,
Mulai dari defisit anggaran Indonesia yang salah satu paling rendah, hanya 6%, di saat beberapa negara di kisaran 8-10%. Lalu, Indonesia juga punya cadangan valas yang tinggi, neraca perdagangan juga masih surplus, inflasi yang rendah, hingga harga komoditas yang naik juga akan untungkan ekspor Indonesia.
Baca Juga: Laris manis, obligasi dan sukuk Sarana Multigriya (SMF) oversubscribed tiga kali
Belum lagi adanya berbagai insentif untuk mendorong daya beli masyarakat.
Oleh sebab itu, Yudha meyakini Indonesia secara makro memang punya fundamental yang baik. Tak hanya secara fundamental, secara valuasi, Indonesia juga dianggap sebagai salah satu yang paling menarik.
“Yield SUN kita terhadap inflasi, salah satu yang paling tebal, spread dengan US Treasury juga cukup tinggi di kisaran 500 bps. Kondisi ini sebenarnya sudah cukup menarik bagi investor asing untuk kembali masuk,” pungkas Yudha.
Selanjutnya: Targetkan penjualan tumbuh dobel digit pada 2021, ini strategi Pyridam Farma (PYFA)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News