Reporter: Yuliana Hema | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah menggodok kenaikan minimal saham free float. Kenaikan batas tersebut berpotensi meningkatkan kebutuhan pendanaan tambahan dari pasar.
OJK dan BEI berencana untuk menaikkan batas minimal free float menjadi 10%–15% bagi emiten yang sudah tercatat. Keduanya juga berencana untuk mengubah perhitungan free float bagi emiten IPO.
Berdasarkan hitungan OJK, apabila diberlakukan ketentuan kewajiban free float dengan besaran 10%. Maka sudah ada 751 emiten yang sudah sesuai dengan ketentuan per 30 September 2025.
Baca Juga: Mau Kerek Batas Free Float Jadi 10%–15%, Segini Serapan Dana yang Dibutuhkan
Sementara, sisanya sebanyak 192 emiten belum memenuhi batasan. Dengan demikian, perkiraan tambahan yang harus diserap pasar apabila ketentuan kewajiban free float menjadi 10% mencapai Rp 21 triliun.
Jika kenaikan free float minimal menjadi 15%, maka emiten yang sudah sesuai ada 673 emiten. Sisanya sebanyak 270 emiten belum memenuhi sehingga dana yang dibutuhkan sebesar Rp 203 triliun.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai untuk satu sampai dua tahun ke depan, penerapan minimal free float 10% akan lebih pas dan bijak.
Dia menyarankan setelah batas minimal 10% diberlakukan, otoritas bisa memberlakukan batas 15% terutama untuk emiten dengan kapitalisasi pasar di bawah Rp 5 triliun atau Rp 10 triliun.
“Dengan target transaksi harian hanya Rp 14,5 triliun, angka Rp 203 triliun termasuk besar. Namun nilai Rp 21 triliun tidak besar dan akan dapat diserap,” jelasnya kepada Kontan, Kamis (4/12).
Baca Juga: Sejumlah Valas Asia Tertekan, Apa Penyebabnya?
Memang kalau dicermati, OJK dan BEI mengharapkan partisipasi dari investor institusi seperti dana pensiun. Namun kalau dicermati banyak institusi besar yang menyoroti likuiditas pasar saham yang masih rendah.
Budi menyebut imbal hasil yang diberikan pasar di IHSG, LQ45 dan indeks-indeks lainnya dalam lima sampai 10 tahun terakhir kurang memuaskan dan tidak seimbang dengan risikonya.
Menurut dia, ketika imbal hasil yang diterima wajar, maka investor besar tentunya akan masuk sendirinya. Insentif juga bisa diberikan sebagai dorongan.
“Insentif yang bisa diberikan, mungkin, pengelola dana institusi besar seperti BPJS Jamsostek, Taspen dan lainnya jangan disalahkan jika terjadi unrealized loss. Jika tidak, ini masih menjadi disinsentif untuk mereka,” ucap dia.
Direktur Infovesta Utama Parto Kawito menilai yang lebih penting ialah free float market capitalization yang besar. Jadi agar kapitalisasi pasar besar, maka dapat disumbang oleh harga pasar yang tinggi.
“Sebaiknya, kenaikan free float secara bertahap agar tidak menimbulkan kejutan dan emiten punya waktu untuk mencari waktu terbaik dalam melepas saham,” kata Parto.
Baca Juga: Rupiah Melemah 0,15% Kamis (4/12), Ini yang Akan Menjadi Pemicu Pergerakan Besok
Parto menilai dengan waktu yang cukup, emiten juga bisa memilih investor baik baik atau sesuai dengan strategi perusahaan. Dari sisi penyerapan, Parto menilai bisa dilakukan dengan dukungan investor domestik.
“Dana bisa dari Investor lokal baik institusi maupun ritel, karena investor asing lebih susah ditarik. Bila investor institusi masuk, dana sekitar Rp 200 triliun masih memungkinkan,” ucap Parto.
Selanjutnya: Sinopsis Film Avatar: Fire and Ash, Ini Jadwal Tayang dan Daftar Pemerannya
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Dua Mingguan 4-17 Desember 2025, Es Krim-Kentang Rendang Diskon 20%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













