Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Paruh pertama tahun ini rupanya menjadi periode yang bagus bagi pasar obligasi korporasi Indonesia. Pasalnya, pada periode tersebut, penerbitan obligasi korporasi naik dibanding 2020 silam.
Hingga 30 Juni 2021, berdasarkan data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah penerbitan obligasi korporasi nasional mencapai Rp 43,37 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 30,03 triliun.
Periode Maret dan April, nilai penerbitan obligasi korporasi cukup tinggi, yakni Rp 12,64 triliun dan Rp 12,34 triliun. Sementara periode Januari menjadi yang terkecil, yakni hanya Rp 2,43 triliun.
Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Salyadi Saputra mengungkapkan, membaiknya tren penerbitan obligasi korporasi tidak terlepas dari perpaduan adanya surat utang yang jatuh tempo serta kondisi pasar yang jauh lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Selain dari nominal yang lebih besar, emiten yang menerbitkan obligasi korporasi juga lebih banyak, 28 penerbit berbanding 27 pada tahun lalu.
Baca Juga: Prospek stabil, Pefindo tetapkan peringkat idAAA kepada CGIF
“Kalau lihat tren penerbitan obligasi korporasi saat ini, seharusnya bisa melebihi jumlah penerbitan tahun lalu,” kata Salyadi dalam Media Forum Pefindo secara virtual, Kamis (8/7).
Asal tahu saja, sepanjang tahun lalu, jumlah penerbitan obligasi korporasi sebesar Rp 96,6 triliun.
Sepanjang tahun ini, Salyadi melihat temuan menarik, yakni kelompok perbankan yang biasanya mendominasi penerbitan obligasi korporasi terlihat sedang menahan diri. Hal ini sama seperti kondisi tahun lalu.
Menurutnya, saat ini perbankan justru tengah punya likuiditas yang berlimpah, namun dari sisi kreditnya justru tidak tersalurkan dengan optimal sehingga perbankan pun tidak menerbitkan obligasi korporasi.
Pefindo mencatat, sepanjang semester I-2021, nilai penerbitan obligasi korporasi dari kelompok perbankan hanya Rp 2,58 triliun sehingga menempatkan mereka pada peringkat kelima. Di atas perbankan justru ada industri konstruksi dan telekomunikasi dengan nilai masing-masing Rp 3 triliun dan Rp 4,97 triliun.
Sementara pada peringkat kedua dan pertama terdapat industri lembaga pembiayaan khusus dan multifinance dengan nilai masing-masing Rp 7,12 triliun dan Rp 8,59 triliun.
“Kedua industri tersebut dari sisi rating juga punya credit score yang sangat tinggi sehingga risikonya dipandang jauh lebih rendah serta membuat investor juga nyaman untuk masuk,” tutup Salyadi.
Selanjutnya: Waskita Karya (WSKT) tengah negosiasi restrukturisasi kredit ke perbankan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News