Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi investor terhadap risiko investasi di Indonesia terus membaik. Hal ini dibuktikan oleh penurunan angka credit default swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun dan 10 tahun.
Jumat (27/7), CDS Indonesia tenor 5 tahun ada di level 108,18, atau turun 25,12% dari level tertingginya tahun ini di 144,47 pada 28 Juni lalu. Kompak, CDS Indonesia tenor 10 tahun pun turun 18,35% ke posisi 185,12, menjauhi level tertingginya yang terjadi pada 2 Juli lalu di 226,73.
Eric Sutedja, Head of Fixed Income Fund Manager Prospera Asset Management, mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat CDS Indonesia turun. Pertama, data ekonomi dalam negeri yang positif. Salah satunya data surplus neraca perdagangan Indonesia di Juni, yang tercatat mencapai US$ 1,74 miliar.
Kedua, dalam data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 tercatat penerimaan sumber daya alam, terutama dari minyak bumi, mencapai Rp 58 triliun, atau 98% dari target penerimaan di tahun ini. "Banyak mispersepsi ketika harga minyak naik bakal berdampak negatif bagi Indonesia, tetapi kini malah penerimaan sumber daya alam naik dan baru enam bulan sudah hampir capai target tahunan," kata Eric, Jumat (27/7).
Karena itu, jika harga minyak terus stabil, Eric memperkirakan Indonesia akan menerima kelebihan penerimaan sumber daya alam sekitar Rp 30 triliun hingga Rp 50 triliun dari target awal. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur atau memberikan bantuan langsung ke masyarakat.
Ketiga, target defisit APBN 2019 ada di kisaran 1,6%-1,9%, juga dianggap mampu membawa persepsi positif. Maklum, angka tersebut turun dari target defisit APBN tahun ini yang mencapai 2,12%.
Kondisi eksternal
Sementara itu analis obligasi BNI Sekuritas Ariawan menambahkan, selain data ekonomi yang ciamik, pergerakan rupiah yang mulai stabil juga jadi penopang. Belum lagi, aliran dana asing kembali masuk ke pasar keuangan.
Hingga akhir pekan lalu, dana asing yang masuk ke pasar domestik sejak Juni 2018 mencapai sekitar Rp 7 triliun. Padahal, di akhir semester I-2018, masih terjadi net sell hingga Rp 3 triliun.
Selain faktor internal, Ariawan menyebut, hilangnya ancaman perang dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa turut berpengaruh pada penurunan CDS Indonesia. Hal ini juga membuat yield surat utang indonesia (SUN) juga menurun. "Sepekan lalu yield SUN 10 tahun sempat berada di 7,8% sekarang di 7,7%," kata Ariawan.
Jika dibandingkan dengan yield US Treasury yang berada di 2,9% maka spread yield capai 470-490 basis poin (bps). Sedangkan secara rata-rata spread US Treasury dengan SUN sejak awal tahun sekitar 395 bps. "Dengan spread yang lebih tinggi ini sangat menarik asing untuk masuk ke pasar domestik," tambah Ariawan.
Ia memperkirakan, persepsi investor terhadap tingkat risiko investasi Indonesia masih bisa terus turun hingga akhir tahun. Namun, dalam jangka pendek, volatilitas masih bisa terjadi karena adanya rencana kenaikan suku bunga The Federal Reserve dua kali lagi di tahun ini.
Eric juga masih yakin CDS Indonesia berpeluang terus turun hingga akhir tahun. Menurut dia, investor sudah memperhitungkan faktor kenaikan suku bunga acuan The Fed ke pasar saat ini. Ia memprediksi, di akhir 2018, CDS Indonesia tenor 5 tahun bisa kembali ke bawah 100.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News