Reporter: Kenia Intan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung melemah, investor asing masih mencatatkan aksi beli bersih atau net buy. Mengutip catatan RTI Business, net buy investor asing menyentuh Rp 11,11 triliun sejak awal tahun 2021 hingga penutupan perdagangan hari, Jumat (29/1) atau sepanjang Januari. Data Bursa Efek Indonesia menunjukkan net buy asing mencapai Rp 10,94 triliun bulan ini.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Okie Ardiastama mengungkapkan, derasnya net buy dipengaruhi aliran dana dari negara-negara maju yang masuk ke emerging markets. Adapun Indonesia dinilai lebih atraktif karena kinerjanya di tahun 2020 yang lebih baik dibanding emerging markets lain di Asia.
Mempertimbangkan proyeksi kondisi ekonomi dunia yang lebih baik di tahun 2021, Okie melihat investor asing punya peluang mencatatkan net buy yang lebih baik tahun ini. Mengingat investor asing yang masih melirik saham-saham blue chips, IHSG sebenarnya masih punya potensi rebound dalam jangka pendek.
Akan tetapi untuk jangka menengah, Okie memandang IHSG akan cenderung tertekan. "Sehingga investor juga perlu lebih bijak dalam mengelola portofolio investasinya," ungkap Okie kepada Kontan.co.id, Jumat (29/1).
Baca Juga: Wall Street dilanda berbagai tekanan menjelang akhir pekan
Investor ritel sebenarnya bisa menjadikan saham-saham yang dilirik investor asing sebagai acuan. Hanya saja, Okie menekankan, investor tetap perlu melakukan analisa yang mendetail.
Asal tahu saja, sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan hari ini, saham-saham sektor perbankan mencatatkan net buy tertinggi. Mengutip data dari RTI Business, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mencatatkan net buy hingga Rp 3,5 triliun, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) net buy hingga Rp 1,7 triliun, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membukukan net buy hingga Rp 1,3 triliun.
Adapun Okie merekomendasikan buy terhadap BMRI dan BBRI dengan target harga Rp 4.740 dan Rp 7.850. Sementara untuk BBCA disarankan hold dengan target harga Rp 35.600.
Baca Juga: Kapitalisasi pasar BEI turun Rp 519,64 triliun dalam sepekan
Tidak jauh berbeda, Senior Vice President Research Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial mengungkapkan, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk melakukan akumulasi. Sebab, IHSG tengah melakukan penyesuaian valuasi sehingga PER menjadi lebih masuk akal. "Sekarang menjadi 13 kali hingga 14 kali dari yang sebelumnya di awal Januari mencapai 16,5 kali," jelas Janson kepada Kontan.co.id, Jumat (29/1).
Oleh karenanya, di saat seperti ini investor bisa akumulasi buy on weakness atau beli saat harga turun saham-saham yang dilirik asing. Investor bisa buy on weakness BBRI di harga Rp 4.250 dengan target harga Rp 4900, BMRI bisa buy on weakness di Rp 6.200 dengan target harga Rp 7.100, dan TLKM bisa buy on weakness di Rp 29.000 dengan target harga Rp 37.000 per saham.
Janson mengungkapkan, saham emiten-emiten tersebut cenderung dilirik asing karena memiliki kapitalisasi pasar yang besar. Di sisi lain, emiten-emiten itu cenderung adaptif dan cekatan menghadapi era digitalisasi. Sementara, di kuartal ketiga 2020 emiten yang diminati asing itu cenderung mampu menunjukkan peningkatan secara kuartalan.
Baca Juga: Fasilitas kesehatan terancam kolaps, Satgas singgung soal disiplin protokol kesehatan
Asal tau saja selain tiga saham sektor perbankan, PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) juga mencatatkan net buy yang besar, bahkan di atas Rp 1 triliun. Sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan hari ini, ASII membukukan net buy Rp 1,2 triliun, sementara TLKM membukukan net buy Rp 1,1 triliun. "Dan kelima emiten tersebut juga mengalami kenaikan bobot di ETF EIDO yang artinya asing tetap buying," imbuh Janson.
Menurut Janson, net buy investor asing masih akan berlanjut selama bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) mempertahankan program pembelian aset atau quantitative easing US$ 120 miliar per bulan, serta kebijakan bunga yang rendah di level 0%.
"Membuat balance sheet The Fed membengkak hingga US$ 7,5 triliun. Ini yang membuat dolar AS terdepresiasi terhadap pasar negara berkembang," imbuh Janson.
Baca Juga: Ini sejumlah sentimen yang bikin IHSG anjlok 7,05% dalam sepekan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News