Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Investor memanfaatkan harga surat utang negara (SUN) tenor menengah dan panjang yang sudah murah dimanfaatkan investor untuk masuk. Tak heran, seri-seri tersebut yang paling ramai ditransaksikan sepanjang Agustus 2015.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, tiga seri teraktif diperdagangkan pada Agustus lalu, yaitu FR0068, yang jatuh tempo per 15 Maret 2034. Kemudian, SR007 yang jatuh tempo 11 Maret 2018, dan seri FR0071 yang bakal jatuh tempo per 15 Maret 2029. Sedangkan, berdasarkan volume, seri yang paling banyak diperdagangkan yaitu FR0070. Seri ini akan jatuh tempo 15 Maret 2024.
Di posisi kedua, seri FR0053 yang jatuh tempo per 15 Juli 2021. Analis Fixed Income Samuel Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus mengatakan, harga seri bertenor menengah dan panjang turun paling tajam sepanjang Agustus lalu. Koreksi harga surat utang dipicu kebijakan Tiongkok mendevaluasi mata uangnya, yang berimbas tekanan bagi rupiah. "Umumnya, ketika pasar bergejolak, seri tenor menengah dan panjang yang harganya paling turun signifikan," kata Nico, Kamis (10/9).
Bahkan, harga FR0068 bertenor 20 tahun turun hingga mencapai batas bawah. Bloomberg mencatat, sepanjang Agustus 2015, harga SUN ini terpangkas 2,19%. Sedangkan, yield melompat ke level 9,05% per 31 Agustus, dari sebelumnya 8,81% per Juli 2015. Nah, investor memanfaatkan harga yang sudah murah dengan masuk secara bertahap. "Mereka ingin mendapatkan harga di bawah, dengan yield tinggi," jelas Nico.
Selain itu, lanjutnya, investor juga memanfaatkan seri bertenor menengah dan panjang untuk memaksimalkan keuntungan ketika pasar obligasi pulih. Menurut analis Sucorivest Central Gani Ariawan, minat investor terhadap tenor menengah dan panjang masih tinggi. Sebab, seri tersebut menawarkan yield menarik. Tren ini terlihat sejak Juli ketika yield mulai naik. "Tak hanya investor domestik, tren berburu tenor menengah-panjang juga dilakukan investor asing," ungkapnya.
Sebaliknya, Analis Fixed Income BNI Securities I Made Adi Saputra, justru melihat transaksi ramai pada seri-seri tersebut lantaran aksi jual oleh investor. Ini dipicu pelemahan rupiah. "Hal tersebut terlihat dari kenaikan yield tenor menengah dan panjang yang lebih besar dibandingkan tenor pendek," tuturnya.
Di samping itu, volume perdagangan SUN juga didominasi tenor menengah dan panjang lantaran volatilitasnya cukup tinggi. Investor memanfaatkan hal ini untuk melakukan trading. Harga sulit naik Nico menduga, harga obligasi tahun ini masih sulit kembali ke kisaran harga Februari hingga April lalu. Adanya paket kebijakan ekonomi pemerintah, dinilai tidak bisa memberikan efek jangka pendek pada pasar obligasi. Ini terlihat pada perdagangan Kamis (10/9), pasar obligasi dibuka flat, bahkan ditutup turun. Rupiah juga loyo. "Berlanjutnya tekanan terhadap rupiah akan menggerus pasar obligasi," ujarnya.
Meski demikian, kata Nico, saat ini waktu yang tepat untuk mulai mengoleksi obligasi secara bertahap. Wajar, valuasi obligasi negara terbilang sudah sangat murah. Made juga menilai, paket kebijakan baru akan berdampak terhadap pasar obligasi di jangka panjang. Sebab, eksekusinya tidak bisa cepat. Sementara, di jangka pendek, pasar surat utang masih akan dipengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar America Serikat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News