Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) menguat terhadap sejumlah mata uang utama. Meski demikian, sejumlah mata uang asing dinilai masih menarik untuk dicermati.
Pada Jumat (12/1) USD menguat terhadap sejumlah mata uang utama. EUR melemah 0,18% terhadap dolar AS, lalu AUD melemah 0,07%, dan GPB melemah 0,27%.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, pasca laporan CPI dan klaim pengangguran AS membuat dolar Amerika Serikat menguat. Namun diperkirakan penguatannya tidak berlangsung lama.
Ia menjelaskan bahwa dolar AS menyerahkan kenaikan awal dan membukukan penurunan moderat, setelah imbal hasil T-note menyerahkan kenaikannya dan berbalik lebih rendah. Ini disebabkan karena komentar dovish dari Presiden Fed Richmond Barkin yang menyatakan bahwa dirinya terbuka untuk menurunkan suku bunga setelah jelas inflasi kembali menuju target The Fed sebesar 2%.
Baca Juga: Intip Beragam Sentimen Dibalik Pelemahan Rupiah Pekan Ini
Sutopo berpandangan, di tengah penguatan dolar AS masih terhadap sejumlah mata uang asing yang dapat diperhatikan. Ia memaparkan, jika melihat kinerja bulanan, mata uang yang paling unggul terhadap USD adalah Swiss Franc yang menguat sebesar 2,73%. Lalu diikuti AUD 2,17%, NZD 1,76%, GBP 1,68%, EUR 1,67%, CAD 1,59% dan Yen 0,23%.
Dari 7 jenis mata uang ini, yen yang paling lemah.
"Tetapi memiliki prospek menguat, mengingat OECD telah menyarankan agar BoJ mempertimbangkan penerapan kenaikan suku bunga jangka pendek secara bertahap dan menerapkan lebih banyak fleksibilitas dalam kebijakan Pengendalian Kurva Hasil," jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (12/1).
OECD menyatakan dalam laporannya, Jepang berada pada titik balik dengan inflasi yang kemungkinan besar akan stabil di sekitar target inflasi 2% dibandingkan kapan pun sejak awal berdirinya.
Untuk beradaptasi dengan lanskap ekonomi yang berubah ini, OECD menyarankan bahwa fleksibilitas yang lebih besar dalam melakukan pengendalian kurva imbal hasil dan peningkatan bertahap dalam tingkat suku bunga kebijakan jangka pendek diperlukan.
"Saran ini didasarkan pada proyeksi inflasi yang berkelanjutan dan dinamika upah yang terus berkembang di Jepang," katanya.
Meskipun demikian, OECD juga memperingatkan mengenai ketidakpastian yang sangat besar seputar prospek inflasi Jepang. Ketidakpastian ini menghadirkan tantangan yang signifikan bagi BOJ dalam mengarahkan target inflasinya.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Melemah Tipis ke Rp 15.550 Per Dolar AS Pada Hari Ini (12/1)
OECD menekankan keseimbangan yang harus dipertahankan oleh BOJ, dengan menyatakan, tantangan utama yang dihadapi BOJ adalah bagaimana mencapai target inflasi secara berkelanjutan tanpa melampaui batas secara signifikan.
Sutopo memperkirakan, hingga akhir kuartal I 2024 yen akan diperdagangkan pada 144,36 dan untuk sepanjang tahun di level 150. Proyeksi itu berdasarkan tingkat inflasi inti di Tokyo yang melambat untuk bulan kedua berturut-turut menjadi 2,1% pada bulan Desember, terendah sejak Juni 2022.
Selain itu, pendapatan tunai rata-rata di Jepang meningkat sebesar 0,2% YoY pada bulan November 2023, setidaknya sejak Desember 2021.
Franc Swiss bertahan di sekitar level 0,85 per dolar AS sejak awal tahun dan tetap relatif dekat dengan level tertinggi dalam 12 tahun di 0,83 yang dicapai pada tanggal 29 Desember.
Data terbaru menunjukkan bahwa inflasi di Swiss meningkat lebih dari perkiraan menjadi 1,7% pada bulan Desember, tetap berada dalam target dan perkiraan dasar SNB, namun melampaui konsensus pasar.
Peningkatan inflasi juga sejalan dengan lonjakan yang terjadi di negara-negara tetangga Swiss yang merupakan anggota Euro, sehingga membenarkan kenaikan suku bunga SNB untuk mendukung Franc dan membatasi inflasi impor dari mitra dagang utama negara tersebut.
Sentimen itu, kata Sutopo, menentang meningkatnya pertaruhan pasar terhadap percepatan penurunan suku bunga oleh Federal Reserve.
"Selain kebijakan moneter, SNB juga mendorong franc dengan terus-menerus menjual mata uang asing dengan data terbaru menunjukkan cadangan devisa turun ke level terendah dalam tujuh tahun terakhir.
Karenanya, CHF diperkirakan diperdagangkan pada 0,86 pada akhir kuartal ini. Sementara di akhir tahun diperkirakan berada di 0,89.
"Untuk jangka panjang, dengan kondisi geo-politik yang tidak menentu, sepertinya franc Swiss akan tetap menjadi mata uang lindung nilai, sedangkan Yen kemungkinan akan tetap melemah untuk jangka panjang karena spread suku bunga yang berbeda dengan negara ekonomi maju lainya," tegasnya.
Adapun untuk rupiah diperkirakan tahun ini masih akan melemah dengan rentang Rp 15.100 - Rp 16.000 per dolar AS. Sutopo memprediksi di akhir kuartal I 2024 rupiah akan berada di Rp 15.600 per dolar AS dan di akhir tahun di Rp 15.840 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News