Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena unrealized loss (UL) seakan menjadi momok karena berpotensi menjadi ancaman kriminalisasi, itu sangat menakutkan bagi para perusahaan yang mengelola dana publik seperti BP Jamsostek dan juga perusahaan-perusahaan sekuritas di pasar bursa. Karena kalau terjadi UL, mereka bisa terancam pidana.
Hal tersebut dikarenakan adanya sorotan mengenai fenomena UL yang dialami BPJS Ketenagakerjaan langsung dicap sebuah kerugian mutlak, padahal tidak. Kita akan kupas sedari awal agar masyarakat tidak salah paham terkait UL. Kita bakal kupas tuntas soal fenomena UL dari berbagai kacamata pakar.
Menurut Pengamat Hukum Pasar Modal Indra Safitri, siapa saja yang ingin berinvestasi disebut investor. Suatu kerugian yang belum direalisasikan belum terjadi, belum bisa disebut kerugian, karena memang kondisi pasar yang bisa berubah, bisa naik turun.
Baca Juga: Nilai transaksi bulan Maret diperkirakan lebih ramai, ini pendorongnya
Dalam UU NO 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), UU NO 8 Tahun 1995 tentang pasar modal, kerugian tentu kita tidak bisa memisahkan dengan hukum yang mengatur investasi. Pasar itu selalu berubah, dalam hitungan jam saja pasar bisa berubah-ubah. Untuk mengurai kasus pidana di pasar modal membutuhkan waktu, dan harus diuraikan. Asetnya bagaimana, apakah asetnya didapat dari kejahatan semua itu membutuhkan proses yang cukup panjang.
Kalau bicara UL, dalam pengetahuan Indra tentu dalam konteks kerugian, itu belum terjadi, hanya ada faktor perhitungan maka dikatakan rugi. Sebenarnya siapa saja yang masuk ke pasar tentu treatment-nya sama, kalau modal negara yang berinvestasi dalam pasar modal rugi, tentu itu dalam pasar modal itu adalah kerugian negara. Tapi negara juga ada untung. Ini ada keseimbangan, kapan dia untung, kapan dia rugi. Kalau Negara tidak ingin rugi, negara tidak usah berinvestasi di pasar modal, pasar bisa rugi dan bisa untung.
Kalau ingin melihat investasi dalam pasar modal, harus konsisten menggunakan perangkat yang ada dalam industri pasar modal ini. Posisinya BPJS Ketenagakerjaan itu sebagai investor. Kalau ditanya terjadi kerugian karena produknya palsu, atau produknya tergolong dari penipuan hukum. "Tapi misalnya sahamnya lahir karena perbuatan melawan hukum, ada mekanisme pengawasan, mekanisme transaksi secondary market, investor yang dirugikan," kata dia dalam keterangannya, Kamis (4/3).
Baca Juga: Begini strategi Garuda Indonesia (GIAA) memangkas kerugian di tengah pandemi
Sebelumnya pakar Keuangan dan Investasi IPMI Internasional Bisnis School, Roy Sembel membandingkan kasus yang menimpa BPJS Ketenagakerjaan dengan Jiwasraya. Kalau kasus Jiwasraya mulainya lebih dari 1 dekade lalu, karena pengelolaannya miss match dengan data statistik yang ada. Kasus Jiwasraya itu ditengarai melibatkan pemilihan menajer investasi dengan proses kurang good governance dan trading saham yang goreng-gorengan. Sementara hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan masih positif. Perbedaannya Jiwasraya memang sudah rugi, kalau BP Jamsostek masih untung. Pemilihan Manajjer Investasi (MI), BPJS Ketenagakerjaan ketat, Jiwasraya longgar, karena itu Jiwasraya sedang terdesak.
Tapi selama itu belum dijual kembali, itu baru di atas kertas (belum terealisasi), dan kebetulan memang dibuktikan bahwa ketika market naik, maka UL di BPJS Ketenagakerjaan juga menurun. UL ini dianggap wajar, karena kalau dilihat dari strategi investasinya, aset alokasinya dan taktical alokasinya itu mencerminkan tidak ada hal-hal aneh, kalau ada UL itu artinya market bergejolak. Investasi itu ada potensi return-nya, tapi ada risikonya juga.
Selanjutnya: Naik ratusan persen, saham tujuh bank ini kena suspend BEI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News