Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Walau Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dianggap masih menjadi salah satu instrumen investasi unggulan di tahun ini, namun dengan tren kenaikan suku bunga acuan, pesonanya anggap dapat memudar. Bahkan, IHSG diprediksi kalah pamor dibanding obligasi di masa depan.
Asal tahu saja, kinerja IHSG secara month on month (MoM) alias bulanan, menguat tipis 0,83% per Oktober 2022. Ini melanjutkan tren bullish IHSG, dimana secara year to date (YTD) pasar saham dalam negeri masih naik 7,86%.
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo mengatakan, meskipun penguatan IHSG tidak signifikan namun berhasil mempertahankan tren positif di tengah pergerakan indeks saham yang fluktuatif.
Praska memaparkan, membaranya sektor energi berhasil menopang penguatan IHSG. Sektor energi menopang laju IHSG dengan bertumbuh 7,76% secara bulanan dan naik 81,61% secara YTD.
Baca Juga: Laju IHSG Berpotensi Tertahan Memburuknya Kondisi Global
Diikuti kinerja saham dari sektor perindustrian yang berhasil naik tipis 0,25% secara bulanan dan 22,88% secara ytd. Penopang selanjutnya adalah indeks sektor transportasi & logistik yang berhasil tumbuh 4,89% secara bulanan dan 15,40% secara tahunan.
"Kinerja IHSG masih memimpin dibandingkan instrumen investasi lainnya," ucap Praska kepada Kontan.co.id, Sabtu (5/10).
Sedangkan, Praska menjelaskan, performa Surat Berharga Negara (SBN) masih kurang ciamik sepanjang tahun ini. Tetapi di sisi lain, obligasi korporasi malah mencatatkan pertumbuhan kinerja di tahun 2022.
Mengutip Bloomberg, per Oktober 2022, kinerja obligasi korporasi secara bulanan turun 0,27%, tetapi tumbuh 3,79% secara YTD. Sedangkan, kinerja obligasi pemerintah turun 0,50% secara bulanan dan turun 0,77% secara YTD.
Kendati demikian, Praska menyarankan untuk investor mulai atur ulang portofolio investasi. Sebab, kenaikan suku bunga masih berlanjut dan konflik geopolitik dapat membalikkan tekanan pada IHSG.
Dari rentang kuartal IV-2022 hingga kuartal II-2023, dia melihat prospek pasar surat utang justru akan lebih menarik ketimbang IHSG. Suku bunga tinggi yang diterapkan baik dari AS ataupun domestik berpotensi mengangkat imbal hasil atau yield dari obligasi.
"Kenaikan imbal hasil obligasi AS kemungkinan berimbas pada peningkatan yield obligasi Indonesia. Meskipun saat ini kondisinya tengah turun," imbuh Praska.
Baca Juga: Obligasi Tanah Air Kurang Menarik, Imbas Agresivitas The Fed
Praska menilai masih ada potensi lonjakan imbal hasil obligasi tanah air karena investor akan buy on weakness saat inflasi tinggi. Yield obligasi Indonesia diprediksi berkisar 7,5%-8,5% pada tahun 2023.
Di sisi lain, IHSG rawan terjadi aksi profit taking karena efek dari stagflasi atau perlambatan ekonomi. Inflasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang naik dan rilis data produk domestik bruto (PDB) baik dari AS, Eropa ataupun Indonesia turut menekan IHSG. Selain itu, penguatan dolar terhadap rupiah berdampak pada pelemahan harga komoditas yang imbasnya besar pada kinerja IHSG.
Terlebih, konflik Rusia dan Ukraina masih berlanjut yang dinilai akan diikuti perang dagang antara AS China kembali dimulai.
"Isu geopolitik masih mendominasi yang membuat ekonomi belum cukup jelas karena berdampak pada tingginya bahan baku," tutur Praska.
Karena itu, Praska menyarankan investor bersiap mencermati prospek obligasi. Jika suku bunga sudah mencapai level tertingginya maka itu momentum bagi obligasi.
Dia menilai, alokasi untuk periode 9 bulan hingga Juni 2023, investasi bakal lebih cenderung ke surat utang. Maka dari itu, komposisi yang tepat adalah alokasikan dana investasi sebesar 60% ke surat utang, 20% saham dan 20% pasar uang.
Khusus untuk investasi pada surat utang dapat dibagi lagi menjadi obligasi korporasi dengan mencari rating tinggi seperti, Single A. Lalu, obligasi pemerintah dengan mencermati tenor pendek - menengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News