Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada awal tahun ini, sejumlah emiten menerbitkan obligasi global berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS). Sebut saja PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
MEDC menawarkan obligasi 144A/Reg S senilai US$ 650 juta bertenor tujuh tahun dengan kupon 6,37% per tahun. Sementara itu, BSDE menerbitkan obligasi global senilai US$ 300 juta dengan bunga per tahun 5,95% dan bakal jatuh tempo pada 2025. Surat utang BSDE tersebut ditawarkan melalui anak usahanya, yakni Global Prime Capital Pte. Ltd (GPC).
Direktur Utama MEDC Hilmi Panigoro mengatakan, MEDC memilih untuk menerbitkan obligasi global karena pendapatan perusahaannya hampir 100% dalam dolar AS. "Bunga obligasi dalam dolar AS juga jauh lebih murah dibanding obligasi rupiah," ungkap dia saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (24/1).
Baca Juga: Laris manis, obligasi Medco Energi (MEDC) US$ 650 juta oversubscribed enam kali
Sebagai perbandingan, obligasi rupiah MEDC bertenor tiga sampai lima tahun yang saat ini belum lunas memiliki kisaran bunga 8,75%-11,8%. Menurut Hilmi, jika bunga beserta pokoknya dikonversi ke dalam dolar AS dengan nilai tukar saat ini, maka bunganya setara dengan 4,35%-6,33%.
Hilmi mengungkapkan, minat investor global dalam menyerap obligasi perusahaan Indonesia juga masih cukup besar. Hal itu terbukti dari obligasi MEDC yang mencatatkan kelebihan permintaan (oversubscribed) sebanyak enam kali.
Baca Juga: Bayan Resources (BYAN) menerbitkan obligasi global US$ 400 juta
Bernada serupa, Direkur BSDE Hermawan Wijaya menyampaikan, pihaknya memilih untuk menerbitkan obligasi global karena tingkat bunganya bisa lebih kecil dibanding obligasi rupiah. "Selain itu, besaran dana yang didapat juga bisa lebih besar," ucap dia.
Sayangnya, Hermawan belum mau memberitahu seberapa besar minat investor pada surat utang global yang BSDE terbitkan. "Saat ini belum boleh di-disclose. Tunggu keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia nanti," kata Hermawan.
Meskipun begitu, pada Senin (20/1), BSDE telah menandatangani purchase agreement dengan Citigroup Global Markets Singapore Pte. Ltd., Credit Suisse (Singapore) Limited, UBS AG Singapore Branch, dan Mandiri Securities Pte. Ltd. selaku pembeli awal (initial purchasers) obligasi ini.
Baca Juga: Bank pelat merah ramai terbitkan global bond tahun ini
Tak mau ketinggalan, pada semester I-2019, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga berencana menerbitkan obligasi global senilai US$ 500 juta. Hasil penerbitan surat utang itu akan digunakan untuk menopang kebutuhan pembiayaan alias refinancing dan juga penyaluran kredit.
Investment Specialist PT Sucorinvest Asset Management Dimas Yusuf mengatakan, para emiten ini memilih untuk menerbitkan obligasi dalam dolar AS karena kupon surat utang dalam mata uang ini jauh lebih rendah dibanding rupiah. Dia membandingkan bunga LIBOR obligasi dolar AS dengan tenor tiga sampai lima tahun sudah di kisaran 1%. Berbeda dengan obligasi rupiah yang kuponnya masih berkisar di 6,5%-7,5% untuk obligasi bertenor satu sampai tiga tahun.
Di samping kupon yang lebih rendah, emiten juga memanfaatkan penguatan nilai rupiah terhadap dolar AS yang cukup signifikan. Dengan begitu, bunga dan pokok yang harus perusahaan tersebut bayarkan akan lebih efisien. "Mereka juga melihat permintaan yang sangat tinggi jadi pricing-nya bisa mereka tekan. Pasar obligasi dalam negeri juga sudah cukup jenuh sehingga para emiten ini melihat perlu mendiversifikasi sumber dananya," kata dia.
Baca Juga: Asing tambah kepemilikan Rp 24,7 triliun pada SBN, tren positif akan berlanjut
Pasar obligasi Indonesia
Untuk ke depannya, Dimas melihat pasar obligasi Indonesia masih menarik untuk investor luar negeri. Pasalnya, ia masih melihat penurunan yield yang disertai kenaikan harga obligasi.
Penurunan yield ini juga masih potensial untuk berlanjut terutama pada semester pertama 2020 sejalan dengan adanya peluang Bank Indonesia yang masih akan menurunkan suku bunga acuan. Meskipun begitu, laju penurunan yield obligasi pada tahun ini tidak akan seagresif tahun lalu.
Dimas juga melihat ada tantangan dari penguatan nilai rupiah terhadap dolar AS yang masih akan berlanjut. Pasalnya, hal ini dapat membuat emiten yang bukunya bermata uang rupiah mencatatkan cost of fund yang lebih tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News