Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Indeks dolar Amerika Serikat (AS) atau DXY mencatat penguatan sepanjang pekan ini, meski belum mampu menembus level psikologis 100. Pada Kamis (1/5), DXY tercatat berada di level 99,81, namun angka ini masih lebih rendah lebih dari 7% dibanding posisi awal tahun 2025.
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong menyebutkan bahwa penguatan tipis dolar AS dipicu oleh munculnya sinyal de-eskalasi dalam ketegangan perdagangan antara AS dan China. Meski belum ada kesepakatan konkret, indikasi pelonggaran tensi mulai terlihat.
"Rebound tipis ini sebagian besar didorong oleh timbulnya sinyal de-eskalasi perang dagang antara AS – China. Meskipun belum ada konfirmasi lebih lanjut mengenai kesepakatan yang konkrit dan nyata, tetapi gelagat kedua negara ini menyiratkan bahwa tensi ketegangan sedikit mereda," ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (30/4).
Baca Juga: Data Ekonomi Lemah, Indeks Dolar AS Menuju Level Terendah dalam 11 Minggu
Sinyal ini menguat setelah Presiden AS Donald Trump bersama kabinetnya menyampaikan pernyataan resmi yang menekankan keinginan untuk meredakan ketegangan perdagangan. China juga memberikan respons serupa dengan munculnya rumor mengenai pembebasan barang-barang asal AS dari tarif balasan.
Selain itu, Presiden Trump baru-baru ini menandatangani perintah eksekutif untuk menurunkan tarif terhadap industri otomotif, khususnya komponen suku cadang mobil, setelah sektor ini tertekan selama beberapa pekan akibat perang tarif.
Meski demikian, dolar AS masih melemah terhadap sejumlah mata uang utama. Yen Jepang (JPY) dan franc Swiss (CHF) mencatatkan penguatan signifikan terhadap dolar AS. Pairing JPY/USD terapresiasi 8,99% secara year-to-date (ytd) dan turun 0,91% dari sesi sebelumnya, sementara CHF/USD terapresiasi 9,68% ytd dan turun 0,13% dalam sehari.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menilai pergerakan dolar AS juga dipengaruhi oleh data ekonomi terbaru, seperti Personal Consumption Expenditure (PCE) bulan Maret dan produk domestik bruto (PDB) AS kuartal I-2025.
Baca Juga: Indeks Dolar AS Melemah, Mata Uang Safe Haven Melonjak
PCE, yang merupakan indikator inflasi acuan Federal Reserve (The Fed), tercatat naik 2,6% secara tahunan pada Maret, lebih rendah dari kenaikan 3,0% pada Februari. Sementara itu, PDB AS pada kuartal I mengalami kontraksi sebesar minus 0,3%, jauh dari ekspektasi pasar yang memperkirakan pertumbuhan 0,4%.
Menurut Sutopo, pasar saat ini lebih mencermati data ekonomi aktual dan ketidakpastian kebijakan perdagangan, dibandingkan sinyal-sinyal meredanya ketegangan antara AS dan China.
"Terlepas dari sinyal de-eskalasi perang dagang, pasar tampaknya lebih fokus pada data ekonomi nyata dan ketidakpastian mendasar seputar kebijakan perdagangan AS dan pertumbuhan ekonomi," jelas Sutopo.
Ia juga memperkirakan bahwa pergerakan indeks dolar AS masih akan terbatas dalam jangka pendek hingga menengah.
"Sehingga dalam jangka pendek hingga menengah ini, kemungkinan dolar AS masih akan tertekan," kata Sutopo, Rabu (1/5).
Baca Juga: Dolar AS Mencapai Puncak Terkuat 6 Bulan Seiring Fokus pada Data Inflasi Amerika
Lukman menambahkan bahwa DXY berpotensi bergerak di sekitar level 100,00 dalam waktu dekat, dan kemungkinan berada di kisaran 103,00 hingga akhir tahun, tergantung perkembangan hubungan dagang kedua negara.
“Kembali lagi bergantung pada perkembangan perang dagang, jika situasi masih sama atau tereskalasi, maka indeks dolar AS bisa turun di level 93,00 – 95,00. Tetapi, jika ada potensi mereda, maka sangat mungkin untuk DXY rebound ke level 103,00. Kenaikannya tidak begitu signifikan karena ada kemungkinan kepercayaan investor terhadap dolar AS sebagai aset safe haven perlahan menurun,” tutup Lukman.
Selanjutnya: Bank IBK Indonesia (AGRS) Catat Kinerja Positif pada Kuartal I-2025
Menarik Dibaca: Promo Guardian Super Hemat 1-14 Mei 2025, Tambah Rp 1.000 Dapat 2 Serum Somethinc
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News