Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia kembali memasuki fase penuh tekanan. Hal ini setelah yield Surat Utang Negara (SUN) mengalami tren kenaikan dalam beberapa waktu terakhir.
Mengutip Bloomberg, yield SUN seri acuan 10 pada Selasa (6/8) berada di level 7,62%. Angka ini sebenarnya sedikit turun dibandingkan posisi di perdagangan kemarin yakni 7,65%. Namun, tren kenaikan masih tampak terlihat lebih dari sepekan terakhir. Ini mengingat pada 26 Juli lalu, yield SUN masih berada di level 7,18%.
Head of Fixed Income Fund Manager Prospera Asset Management Eric Sutedja menyampaikan, tren kenaikan yield SUN yang terjadi akhir-akhir ini merupakan imbas dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Mata uang garuda sendiri terkoreksi akibat imbas dari meningkatnya eskalasi perang dagang antara AS dan China, terutama ketika memasuki awal bulan Agustus. Bahkan, perang dagang antara kedua negara tersebut sudah mulai berubah menjadi perang mata uang.
Asal tahu saja, pertengahan pekan lalu Presiden AS Donald Trump mengancam akan memberi tambahan tarif 10% pada produk impor China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September mendatang. Tensi perang dagang kian memanas usai Trump sempat menuduh China sebagai manipulator mata uang.
Sebagai tanggapan atas tuduhan AS, pemerintah China lantas sengaja melemahkan mata uang yuan agar produk-produk ekspornya tetap kompetitif di pasar.
Baca Juga: Penawaran masuk lelang sukuk negara hari ini mencapai Rp 18,05 triliun
Tercatat, kemarin mata uang yuan China telah menyentuh level CNY 7,02 per dolar AS. Yuan sempat melemah sebelum akhirnya pemerintah China menstabilkan mata uang ini. CNY pun menyentuh level terlemah dalam satu dekade terakhir.
Kurs rupiah kembali melemah 0,15% ke level Rp 14.277 per dolar AS pada hari ini. “Dalam lima tahun terakhir, rupiah sangat terpengaruh oleh pergerakan dolar AS dan yuan,” kata Eric, Selasa (6/8).
Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia Fikri C. Permana juga mengatakan, depresiasi rupiah belakangan ini berdampak negatif bagi pasar obligasi dalam negeri. Bukan tidak mungkin tren kenaikan yield SUN berlanjut jika kurs rupiah tidak segera stabil.
Dia menilai, Indonesia dalam tekanan mengingat perang dagang tak hanya melibatkan AS dan China, melainkan juga Jepang dan Korea Selatan. “Sayangnya China, Jepang, dan AS adalah tiga negara teratas tujuan ekspor Indonesia,” ungkapnya.
Di saat yang sama, kinerja ekspor Indonesia belum cukup memuaskan karena masih kesulitan menemukan pasar baru di tengah berkecamuknya perang dagang. Hal ini yang membuat data neraca dagang Indonesia rentan defisit. Begitu pula dengan defisit neraca transaksi berjalan Indonesia yang kembali terancam melebar.
Padahal, kedua data tadi sangat krusial bagi fundamental rupiah yang ujung-ujungnya mempengaruhi kondisi pasar obligasi domestik.
Belum cukup, terdepresiasinya rupiah tak hanya mendorong kenaikan yield SUN. Investor asing pun berpeluang melakukan aksi jual seiring meningkatnya risiko perbedaan nilai tukar. Jika demikian, tekanan di pasar obligasi Indonesia makin besar, apalagi nilai kepemilikan asing kini telah di atas Rp 1.000 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News