Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi diperkirakan kembali ceria setelah lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service menaikkan peringkat utang Indonesia. Namun para analis masih melihat adanya tantangan dari gejolak pasar global.
Seperti diketahui, akhir pekan lalu Moody's mengganjar utang Indonesia menjadi peringkat Baa2 alias outlook stabil dari sebelumnya Baa3 dengan outlook positif.
Fund Manager Capital Asset Management Desmon Silitonga mengatakan, kenaikan rating utang kali ini membuat prospek obligasi dalam negeri kian positif. Namun, pasar tidak merespon kabar baik ini secara langsung.
Ini terlihat dari pergerakan yield surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun, yang masih stagnan di level 6,5% pada Jumat (13/4). "Belum ada penurunan yield dan pasar saham juga masih terkoreksi. Artinya, pasar belum merespon, tapi dalam jangka menengah dan panjang akan jadi hal positif," kata dia.
Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia Anil Kumar menambahkan, naiknya rating utang Indonesia mengejutkan pasar. Hal tersebut membuat risiko default SUN turun, "spread bertambah kecil dan yield obligasi pun mengecil," tambah dia.
Selain obligasi pemerintah, Anil memprediksi obligasi korporasi juga akan menikmati kenaikan peringkat ini. Pasalnya, obligasi korporasi cederung mengacu pada SUN dan menerima imbas positif dalam jangka menengah.
Tantangan
Meski begitu, performa obligasi Indonesia masih terus dihadapkan pada sentimen eksternal, khususnya dari The Federal Reserves AS. Rencana kenaikan suku bunga The Fed yang semakin cepat bisa membuat yield fluktuatif.
Ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed menjadi sentimen negatif bagi obligasi dalam negeri. "Komposisi investor asing di obligasi Indonesia saat ini sekitar 39% outflow asing yang besar bisa berbahaya buat SUN," ujar Desmon.
Jika bank sentral AS tersebut jadi menaikan suku bunga acuan di bulan Juni, maka hal itu tentu ikut mendorong pertimbangan Bank Indonesia (BI) untuk ikut menaikkan suku bunga.
Selain itu, Head of Economist Pefindo Fikri Permana bilang, ada kekhawatiran tingkat inflasi dalam negeri melonjak dalam kurun 1-2 bulan ke depan. Terutama, inflasi barang impor yang didukung oleh faktor musiman jelang bulan puasa dan Lebaran.
"Ekspektasi kenaikan inflasi kelihatannya makin besar, terutama pada bulan Mei dan Juni nanti. Semoga saja tidak sampai level 4%," jelas dia.
Jika tingkat inflasi naik melebihi batas perkiraan, peluang BI menaikkan suku bunga semakin terbuka. Akibatnya, yield pun akan ikut melambung dan menekan harga obligasi dalam negeri.
Belum lagi, nilai tukar rupiah saat ini masih dalam tren yang terdepresiasi. "Secara fundamental, nilai tukar rupiah sebetulnya sudah undervalue. Ini pekerjaan rumah dari sisi fiskal maupun moneter untuk menjaga dari tekanan sentimen yang terus menerus," katanya.
Fikri memprediksi, dalam jangka pendek satu bulan ke depan, yield obligasi ada dalam kisaran 6,7% - 6,8%. Sedangkan Desmon memperkirakan, sepanjang bulan ini, yield SUN bertenor 10 tahun ada dalam rentang 6,4% - 6,9%. Dengan catatan, "yield US Treasury 10 tahun juga stabil di level 2,8% dan nilai tukar rupiah terjaga stabil," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News