Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan rating utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Moody’s Investors Service menjadi angin segar bagi pasar obligasi dalam negeri. Ganjaran rating yang lebih baik menunjukkan kepercayaan terhadap fundamental perekonomian Indonesia di tengah sentimen negatif global yang menyelimuti.
Namun, kekhawatiran terhadap terkereknya suku bunga acuan juga kian bertambah. Alasannya, pertama, ekspektasi kenaikan suku bunga Federal Reserve pada Juni mendatang semakin kuat. Hal ini tentu akan ikut mendorong pertimbangan Bank Indonesia untuk ikut menaikkan suku bunga.
Kedua, Head of Economist Pefindo Fikri Permana menyebut, ada kekhawatiran tingkat inflasi dalam negeri akan melonjak dalam kurun 1-2 bulan ke depan. Terutama, inflasi barang impor yang didukung oleh faktor musiman menjelang bulan puasa dan lebaran.
"Ekspektasi kenaikan inflasi kelihatannya makin besar, terutama pada bulan Mei dan Juni nanti. Semoga saja tidak sampai level 4%," ujar Fikri, Jumat (13/4).
Jika sampai tingkat inflasi naik melebihi batas perkiraan, peluang BI menaikkan suku bunga akan semakin terbuka. Akibatnya, yield pun akan ikut melambung dan menekan harga obligasi dalam negeri.
Belum lagi, Fikri menambahkan, nilai tukar rupiah saat ini masih dalam tren yang terdepresiasi. "Secara fundamental, nilai tukar rupiah sebetulnya sudah undervalue. Ini pekerjaan rumah dari sisi fiskal maupun moneter untuk menjaga dari tekanan sentimen yang terus menerus," katanya.
Di sisi lain, Analis Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia Anil Kumar berpendapat, kenaikan inflasi tak serta merta harus langsung direspons dengan menaikkan suku bunga acuan. Menurutnya, BI masih punya pilihan lain seperti dengan cara melemahkan mata uang atau menggelontorkan cadangan devisa.
"Tergantung dari analisis inflasinya, tapi saya pikir saat ini masalah Indonesia bukan pada inflasi," imbuh Anil.
Adapun, Fikri memprediksi, dalam jangka pendek satu bulan ke depan, yield obligasi masih akan berada di kisaran 6,7%-6,8%. Masih tingginya porsi asing pada pasar dalam negeri membuat sentimen negatif global mendominasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News