Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PPKM darurat yang diperpanjang membuat pembatasan mobilitas yang tentu akan berdampak pada perekonomian. Salah satunya adalah pelemahan ekonomi yang berujung ambruknya kinerja kebanyakan perusahaan. Lalu bagaimana investor sebaiknya memilih saham di kondisi seperti ini?
Berikut ini analisis dan tips dari Edbert Suryajaya Senior Investment Analyst Infovesta
Bagaimana Anda melihat penanganan Covid-19 yang dijalankan pemerintah?
Kalau untuk dampak secara keseluruhan dari pandemik, kita bisa lihat bersama ya di awal PPKM darurat ini diberlakukan, kasusnya enggak turun malah ada kenaikan.
Kemarin juga saya sempat baca satu artikel dari luar menyebutkan Indonesia itu disebut sebagai epicenter-nya kasus Covid di Asia. Cukup seram juga. Nah itu memberikan dampak negatif ya baik dari sisi fundamental maupun dari sentimen.
Dari sisi fundamental, tentu saja kekhawatiran terkait dengan jumlah kasus, itu kan akan mengakibatkan aktivitas ekonomi itu akan melambat.
Yang kedua, lanjutannya dari ekonomi melambat adalah perusahaan-perusahaan akan terdampak. Jadi kalau kita ingat, di awal pandemik itu kan perusahaan-perusahaan kan terdampak keuangannya. Ada yang bermasalah dengan kreditnya sehingga sampai harus sampai tutup. Ada yang bermasalah dengan bank dan direstrukturisasi. Ada juga beberapa kasus gagal bayar di surat utang, baik yang bentuknya obligasi maupun MTN.
Ini jujur saja di luar ekspektasi semua orang ya. Jadi kalau misalnya kita ingat di akhir tahun 2020, skenario semua pihak baik dalam maupun luar negeri sama. Vaksin akan di roll-out, tahun 2021 ini akan tahun pemulihan. Vaksin sudah didistribusikan dengan baik, semua sudah kembali normal. Tapi pada kenyataannya kan kita lihat sekarang. Ini kan sudah di semester ke-dua, yang ada kan pandemiknya makin parah.
Sementara untuk sentimen terhadap pasar modal, khususnya di Indonesia, saya kok belum kelihatan ada sentimen yang positif. Sentimen positif yang kemudian bisa membawa dana, terutama dana dari luar, dana asing untuk kembali masuk kembali ke Indonesia. Karena itu tadi, sentimen pandemiknya masih jelek. Kekhawatiran terhadap kondisi fundamental juga masih eksis. Belum ada banyak isu yang menjadi driver positif.
Tapi kalau saya lompat sedikit ke driver positif, kita lihat sekarang yang naik itu saham-saham basis teknologi saja. Ini mungkin apa yang masih bisa memberikan sentimen positif ke pasar. Selain itu belum ada yang signifikan untuk menjadi driver pasar bergerak naik secara signifikan.
Tapi kalau kita lihat pergerakan IHSG kan sebenarnya tidak terlalu parah masih 6.000-an, jauh kondisinya dibandingkan Maret tahun lalu. Ini apa artinya pasar saham tidak terlalu terpengaruh?
IHSG betul tidak parah, itu fakta yang menarik. Tapi ada fakta lain di mana kalau kita lihat indeks LQ45, itu sekarang kan malah posisinya negatif. Itu berarti saham-saham blue-chip yang selama ini menjadi motor penggerak utama IHSG dan juga saham-saham yang biasanya diminati investor asing harganya lagi tertekan.
Yang menopang IHSG mungkin bukan saham blue chip malahan, mungkin saham second liner atau di bawahnya. Saham-saham seperti itu bukan investor asing yang masuk harusnya porsinya tidak terlalu besar. Saham-saham itu biasanya lebih volatile.
Sekarang ini sedang booming ada beberapa saham yang naik kencang, tapi adalah fakta juga saham-saham blue chip yang menjadi penopang IHSG itu saat ini kondisinya masih di bawah.
Apa ini akan mengubah perilaku investasi? Investor sendiri sebaiknya memilih style yang mana?
Kalau kita bicara investor institusi fund atau manager otomatis balik lagi ke filosofi masing-masing fund manager.
Jadi kalau fund manager yang tetap filosofi value investing misalnya di mana mereka tetap identifikasi saham-saham yang valuable. Sebenarnya core bisnisnya bagus, tapi mungkin saat ini lagi tertekan karena pandemik.Ya mungkin mereka akan tetap stay di sana, sambil menunggu waktu, kapan roda ini akan berputar lagi.
Karena kan value investor seperti itu. Mencari perusahaan yang saat ini undervalued, tapi secara bisnis bagus Belum banyak dilirik sehingga harganya belum naik, jadi mereka melihat ini kesempatan masuk.
Tapi di sisi lain, ada fund manager yang tidak murni value investing, mungkin istilahnya top down. Jadi mereka melihat sektor apa yang menarik dalam kondisi pasar seperti sekarang. Kemudian mereka melakukan perubahan alokasi aset untuk meningkatkan penempatan saham-saham di sektor tersebut. Nah itu kan ada pendekatan lain juga. Jadi belum tentu berubah dalam arti filosofinya. Bisa jadi para fund manager itu menggunakan filosofi yang sama, hanya saja mungkin ada perubahan alokasi aset.
Kalau melihat harga saham-saham berbasis teknologi yang naik kencang, ini kan akan membawa pengaruh terhadap kapitalisasi pasar dan bobot di indeks. Apakah saham-saham seperti ini akan masuk sebagai saham-saham pilihan?
Kalau secara market cap betul, saham-saham yang akan besar. Tapi saya mungkin akan lebih condong mengategorikan saham-saham tersebut itu sebagai saham-saham growth. Itu kan semacam ilmu standar keuangan itu kan kalau kita belajar ada yang namanya value investing, ada yang namanya growth investing. Value investing cari yang undervalue, growth investing cari yang potensial growth-nya gede.
Nah untuk saham-saham yang lagi melaju sekarang ini, investor membeli bukan karena kondisi mereka sekarang. Tapi karena menilai potensi perusahaan tersebut ke depannya dianggap akan baik.
Nah kembali lagi ke filosofinya manajer investasi, apakah masih percaya value investing atau sekarang mereka mau beralih ke growth investing. Tidak bisa bilang ada yang benar ada yang salah. Paling tidak sekarang saham-saham seperti itu melaju kencang. Tapi bukan berarti mereka akan naik terus, sebaliknya yang undervalue tadi ya bukan berarti akan terus di bawah. Nah itu kan tidak ada yang bisa ngomong dengan pasti.
Kalau Anda sendiri bagaimana strateginya?
Kami sendiri secara internal ya ada coba bikin portofolio bayangan ya. Portofolio bayangan ini mix, ada yang value, ada yang growth. Jadi memang kami lebih suka yang sedikit mix. Kalau misalnya yang growth naik, kita tidak ketinggalan. Sebaliknya kalau growth-nya lagi turun value yang naik juga kita dapat.
Kembali ini agak cocok-cocokan juga dengan karakter masing-masing investor. Kalau Anda fund manager, Investor institusi, atau investor ritel yang masih memegang pakem value investing, pertanyaannya Anda siap enggak lihat harga saham Anda enggak ke mana-mana dalam 1 tahun. Atau bahkan mungkin 2 tahun ke depan. Ya kalau misalnya Anda siap, mungkin Anda cocok dengan tetap sebagai value investing.
Kalau misalnya gerah, seperti misalnya fund manager kan akan dievaluasi kinerjanya. Wahgerah juga ya sekarang ini, kan yang lagi naik kencang saham-saham yang bukan value investing tadi. Saham-saham yang laporan keuangannya masih belum terlalu oke masih belum profit, tapi harganya sudah naik kencang.
Jadi kembali kemasing-masing investor memegang filosofi tertentu itu apakah masih sesuai dengan kondisinya atau tidak.
Mix itu seperti apa komposisinya?
Kalau dari kami, tidak ada pakem yang khusus. Jadi misalnya saham-saham yang sesuai value investing, kita tetap berusaha identifikasi saham-saham mana untuk dipegang. Di mana dalam kondisi seperti sekarang susah. Karena saham yang under value ini bisa juga karena sektornya lagi under perform.
Kami juga coba identifikasi saham-saham growth. Cuma memang ada tantangannya di saham-saham growth ini. Kalau kita melihat dari kacamata investor institusi, memang saat ini sulit.
Dalam arti sisi saham-saham growth ini naiknya bagus kencang, tapi laporan keuangannya jelek. Sementara kita masih hangat dalam ingatan, “ada masalah” dalam berinvestasi. Bagaimana itu mempertanggungjawabkannya? Ini kan mental barrier.
Karena kan bicara prospek itu kan lebih sulit untuk dipertanggungjawabkan. Dibandingkan dengan saya beli saham yang secara kondisi memang sudah sehat, mungkin lagi turun.
Ini kan ekspektasinya semuanya naik. Kalau enggak jadi naik bagaimana? Agak-agak sulit juga memang posisinya, dalam kondisi ini.
Split-nya seperti apa, jujur saja kita enggak secara khusus merancang portofolio, mana yang kita rasa bobotnya lebih besar. Oh ini kinerja kita mau coba ditingkatkan, coba perbesar ke saham-saham yang growth. Tapi dengan catatan bahwa risiko portofolio kita juga akan meningkat.
Saham yang tadi growth itu, meskipun mungkin harganya bisa naik tinggi, tapi pada saat yang sama juga kalau ternyata kondisi tidak sesuai ekspektasi. Ada return ada risk selalu seperti itu kan. Kita perbesar growth, risiko tentunya akan meningkat. Pemantauan harus lebih ekstra ketat. Kita juga respons harus lebih cepat. Konsekuensinya jadi seperti itu.
Bagaimana kita memilih saham di kategori growth yang bagus?
Kalau menurut saya bisa dilihat sektornya dulu. Jadi kan saham-saham yang sekarang ini yang lagi naik kan, kalau kita lihat ada kesamaan, berbasis digital gitu. Saham-saham di sektor new economy itu kan disinyalir mereka yang akan “lebih resilient”. Mereka punya bisnis model ini kan dikembangkan dalam kondisi pandemik. Berarti bisnis model mereka sudah beradaptasi dengan pandemik.
Sedangkan yang old economy sudah mature sudah semua SOP-nya sudah tertata kemudian terjadi disruption atau gangguan terhadap bisnisnya.Mereka keburu sudah stabil, mereka mau melakukan penyesuaian juga mungkin lebih lambat.
Ya jadi evaluasi terhadap sektor itu menurut saya itu yang utama. Selanjutnya dari sana kita kemudian masuk ke masing-masing emiten. Kalau di sini jujur saja harus bilang, kita masih belum punya suatu standard yang khusus terkait saham-saham yang new economy itu.
Kalau dari evaluasi atau yang biasanya dilakukan atau rasio-rasio, gampangnyarasio-rasio keuangan yang biasa investor lihat kayak PER, PBV atau ROE, itu kan enggak masuk semua. Kita memang mesti evaluasi masing-masing emiten secara spesifik strength-nya di mana weakness-nya di mana.
Seperti contoh yang mau IPO sekarang ini Bukalapak ya. Meskipun kategorinya sama-sama e-commerce, tapi kalau melihat strength-nyaTokopedia atau GoTo yang akan IPO selanjutnya, mungkin itu kan berbeda sekali.
Jadi saat ini menurut saya yang bisa kita lakukan, ya evaluasi masing-masing perusahaan. Prospeknya ke depannya itu bagaimana. Kekuatan dan kelemahan dari masing-masing institusinya atau masing-masing emiten.
Kalau menurut Anda Bukalapak ini menarik atau tidak?
Kalau menurut saya Bukalapak, kita bicara laba di laporan keuangan memang masih minus ya. Perusahaan-perusahaan seperti itu kan untuk bisa cepat besar, mereka spent banyak sekali. Istilah kerennya burn money, mereka kasih promo, beriklan dan lainnya.
Sekarang ke depannya seperti apa, nah ini yang susah. Karena apa pun bisa terjadi. Tapi kalau dari saya pribadi melihatnya, perusahaan ini meskipun rugi, ruginya sudah berkurang. Dari 2019 ke 2020 sama-sama rugi tapi ruginya sudah berkurang dan berkurangnya cukup signifikan.
Lalu di Bukalapak itu kan mereka ada semacam warung ada sekitar 6-6,5 juta warung jadi mereka partnership sendiri. Itu ya istilahnya, kalau semuanya berjalan sesuai ekspektasi, harusnya semuanya sesuatu yang bagus dan memberikan value.
Nah jadi kalau kita bicara Bukalapak ini saya mungkin bahasnya jangka pendek dan jangka panjang. Kalau dalam jangka pendek, investor yang ingin dapat capital gain kemungkinannya cukup terbuka. Kita ada banyak investor yang berminat IPO Bukalapak.
Cuma ini bukan saham yang kita bisa buy and hold terus kita tidur. Kalau istilahnya dulu sahamnya mau diwariskan ke anak cucu, Bukalapak bisa jadi bukan saham seperti itu.
Jadi kita harus pantau bersama, lihat bersama progress-nya. Ini setelah itu bagaimana. Istilahnya akan membaik atau tidak, kalau tidak membaik itu alasannya apa. Bisa dijustifikasi atau tidak. Jadi kalau kita mau jadi investor long term, Bukalapak ini akan menjadi pe er untuk dipantau secara terus menerus. Apakah growth yang kita ekspektasikan benar-benar bisa terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News