kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.543.000   4.000   0,26%
  • USD/IDR 15.838   -98,00   -0,62%
  • IDX 7.384   -108,28   -1,45%
  • KOMPAS100 1.139   -20,31   -1,75%
  • LQ45 902   -17,89   -1,94%
  • ISSI 224   -1,99   -0,88%
  • IDX30 464   -10,38   -2,19%
  • IDXHIDIV20 561   -11,39   -1,99%
  • IDX80 130   -2,32   -1,75%
  • IDXV30 139   -1,79   -1,27%
  • IDXQ30 155   -2,80   -1,77%

Hati-Hati, Risiko Obligasi Makin Tinggi


Selasa, 25 November 2008 / 08:06 WIB
Hati-Hati, Risiko Obligasi Makin Tinggi


Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Investor asing tampaknya makin enggan kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia. Investor asing pun terus meminta kenaikan imbal hasil atawa yield yang lebih tinggi untuk berinvestasi dalam obligasi terbitan Indonesia.

Alhasil, yield obligasi dolar terbitan pemerintah dan perusahaan Indonesia makin tinggi, mendekati yield tertinggi selama tujuh tahun terakhir. Indeks obligasi Asia terbitan JPMorgan Chase & Co menyebutkan, yield tertimbang delapan surat utang pemerintah dan 11 obligasi korporasi dalam dolar AS terbitan Indonesia sudah mencapai 15,34% pada 24 November 2008. Adapun yield tertinggi adalah 16,13% pada 27 Oktober 2008.

Ada dua hal yang mendorong yield obligasi dolar terbitan Indonesia tersebut naik. Pertama, "Pelemahan rupiah membuat investor asing khawatir," terang Budi Susanto, Analis Obligasi Danareksa Sekuritas, kemarin. Celakanya, keluarnya investor asing dari pasar Surat Utang Negara (SUN) malah menekan rupiah lebih dalam lagi.

Kedua, investor juga menganggap risiko berinvestasi dalam obligasi terbitan Indonesia makin tinggi. Sebab, potensi gagal bayar alias default, khususnya untuk obligasi perusahaan, makin besar. Investor menganggap pembatalan order ekspor produk dari Indonesia mengganggu kinerja perusahaan yang berorientasi ekspor.

Kondisi ini sungguh persoalan serius. Karena, para penerbit obligasi harus menanggung beban utang yang lebih berat. Bisa-bisa akan banyak perusahaan yang gagal membayar obligasi.

Sejauh ini, perusahaan penerbit obligasi dolar mengaku tak khawatir dengan kenaikan yield ini. PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL) optimistis tetap sanggup melunasi obligasi. APOL telah menerbitkan obligasi US$ 160 juta. "Kami punya kas internal  yang cukup, dan tak ada masalah," tegas Direktur Utama APOL Oentoro Surya.

Selain obligasi dolar, harga SUN rupiah juga terus turun. Kemarin harga SUN acuan seri FR0048 turun menjadi 61,95, setelah pada akhir pekan lalu dihargai 62,08. Jika membandingkannya dengan harga pada awal tahun ini yang sebesar 92,85, harga sekarang itu sama saja turun 33,27%. Otomatis, yield obligasi bertenor 10 tahun ini membengkak dari 17,09% (21/11) menjadi 17,13% (24/11).

Dua stimulus

Padahal, hengkangnya asing dari pasar SUN ikut menggerus harga SUN. Mereka menilai investasi pada SUN tak lagi menguntungkan. Padahal, "Asing membeli SUN semata-mata mengejar keuntungan," kata Budi.

Guna menjaga harga SUN, pemerintah pun memotong target penjualan SUN 2009 mendatang. "Kami juga tak akan meladeni permintaan yield yang tinggi dan sudah tak sesuai rasio," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto.

Namun, upaya pemerintah tersebut belum cukup mengangkat harga SUN. Analis sepakat harga SUN bisa naik dengan dua stimulus. Pertama, penurunan angka inflasi. "Jangan sampai inflasi lebih dari 12% karena jika inflasi tinggi, investor akan meminta yield yang semakin tinggi," tandas Budi.

Kedua, suku bunga acuan alias BI rate harus turun. Sudah lazim, kenaikan suku bunga akan mengerek yield SUN. "Tapi harganya justru jatuh," kata Associate Director Head of Debt Sales Trimegah Securities Heru Helbianto. Dus, BI sebaiknya memangkas BI rate.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×