Reporter: Benedicta Prima | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memandang kondisi ekonomi global akan semakin melambat di semester dua. Ini terutama karena perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Pasar melihat belum ada kepastian mengenai ujung perang dagang. Selain itu, mereka juga melihat perang tarif ini menjadi alat politik Presiden AS Donald Trump untuk pemilu mendatang. Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo memperkirakan, kondisi ini bisa berlangsung sampai pemilu AS.
Analis Senior Anugerah Sekuritas Bertoni Rio mengatakan, dampak perang dagang dirasakan oleh sektor pertambangan maupun komoditas lainnya seiring turunnya permintaan. "Sektor pertambangan dan crude palm oil," ungkap Bertoni kepada Kontan.co.id, Senin (22/7).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi ekspor bahan bakar mineral sebesar 15,33% sedangkan lemak dan minyak hewan/nabati sebesar 10,89%. Kedua golongan barang tersebut merupakan ekspor terbesar tanah air. Sepanjang Januari-Juni 2019 ekspor bahan bakar mineral turun 6,4% sedangkan lemak dan minyak hewan/nabati turun 18,13%.
Sementara itu negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah China, AS dan Jepang. Pada kuartal satu lalu, pertumbuhan ekonomi China tercatat tumbuh 6,4% yoy lebih rendah kuartal satu tahun lalu yang tercatat tumbuh 6,8% yoy. Hal ini membuat permintaan dari China ikut melemah.
"Sebelum ekspektasi melambat pertumbuhan, China juga sudah mengurangi permintaan dengan cara mengubah energi yang sebelumnya menggunakan batubara," jelas dia.
Untuk itu, ujar Bertoni, emiten yang bergerak di sektor ini dalam dua tahun terakhir melakukan efisiensi untuk mengurangi beban operasional. Adapun perusahaan yang berhasil menjaga laba bersih adalah PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY) dan PT Petrosea Tbk (PTRO). "Walaupun laba yang dihasilkan tumbuh stagnan," kata dia.
ADRO pada kuartal satu tahun ini mencatat laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$ 118,8 juta atau tumbuh 59,67% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu laba yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk INDY di periode yang sama tercatat sebesar US$ 11,7 juta atau turun 79,95% yoy. Lalu PTBA mencatat laba sebesar Rp 1,14 miliar atau turun 21,37%.
Ke depan, Bertoni melihat tekanan untuk emiten batubara akan berlangsung lama karena sebagian negara maju sudah tidak menggunakan komoditas tersebut. Sehingga emiten batubara diharapkan tidak tergantung lagi dengan permintaan batubara mentah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News