Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak naik pada hari Senin, dibantu oleh puncak konsumsi musim panas yang diharapkan dan pemangkasan produksi OPEC+. Potensi kenaikan dibatasi oleh peningkatan produksi dari produsen lain dan potensi volatilitas ekonomi yang diakibatkan oleh perubahan lanskap politik.
Senin (1/7) pukul 15.45 WIB, harga minyak mentah Brent naik 42 sen atau 0,5% menjadi US$ 85,42 per barel. Minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 44 sen atau 0,53% menjadi US$ 81,97 per barel.
Kedua kontrak naik sekitar 6% pada bulan Juni. Harga minyak Brent bertahan di atas US$ 85 per barel dalam dua minggu terakhir setelah OPEC+ memperpanjang sebagian besar pemangkasan produksi minyaknya hingga tahun 2025.
Hal itu menyebabkan para analis memperkirakan defisit pasokan pada kuartal ketiga karena transportasi dan permintaan AC selama musim panas menggerogoti persediaan bahan bakar.
Baca Juga: Penguatan Dolar AS Dikhawatirkan Kerek Harga Pangan Impor, Begini Respons KSP
Pada hari Jumat, Badan Informasi Energi (EIA) melaporkan bahwa produksi minyak dan permintaan untuk produk-produk utama naik ke level tertinggi dalam empat bulan pada bulan April. Data ini turut mendukung harga.
"Indikator permintaan terlihat solid, terutama di pasar AS yang sangat penting, dan permintaan kilang minyak mentah puncak sekarang sudah ada dan akan berlangsung hingga Agustus," tulis analis JPMorgan dalam catatan klien.
Harapan akan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve AS dan meningkatnya kekhawatiran geopolitik di Eropa dan antara Israel dan Hizbullah Lebanon juga telah membuat harga tetap rendah, kata analis IG Tony Sycamore dalam sebuah catatan.
Para pedagang juga mencermati dampak badai terhadap produksi dan konsumsi minyak dan gas di Amerika. Musim badai Atlantik dimulai dengan Badai Beryl pada hari Minggu.
"Peningkatan volatilitas diantisipasi di pasar yang lebih luas minggu ini karena pemilihan umum mendominasi agenda di Eropa dan Inggris, sementara di AS kekhawatiran atas kelayakan Presiden Joe Biden untuk menjabat, apalagi pemilihan ulang, mendominasi berita," kata analis Panmure Gordon Ashley Kelty.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News