Reporter: Jane Aprilyani | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan dollar Amerika Serikat (AS) dan pengenaan sanksi AS terhadap Iran jadi sentimen naiknya harga minyak dunia. Mengutip Bloomberg, Jumat (18/1) harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2019 di New York Mercantile Exchange menguat 3,32% menjadi US$ 53,80 per barel dari yang sebelumnya US$ 52,07 per barel.
Bahkan dalam sepekan harga minyak melonjak 4,28%. Menurut Analis Monex Investindo Futures, Dwi Aviono Pamudji, menguatnya harga minyak disebabkan oleh penguatan mata uang dollar. Mata uang negara Paman Sam ini menguat karena pernyataan Presiden Donald Trump terkait isu penutupan Pemerintahan AS (shutdown). Terakhir, Trump membatalkan perjalanannya ke Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
Penutupan sebagian pemerintah AS yang masih berlanjut menjadi alasannya. "Di tengah kondisi politik seperti Brexit, isu pelambatan ekonomi China, kondisi di AS tidak terlalu parah," ucap Dwi kepada Kontan.co.id, Minggu (20/1).
Tak sampai disitu, Dwi juga menilai bahwa pemicu kenaikan harga minyak adalah laporan Baker Hughes Oil Dril yang lebih rendah dari minggu lalu. Yakni turun 21 rig. "Produksi OPEC juga turun di bulan Desember 2018. Khususnya produksi Libya dan Iran," sebut Dwi.
Sekedar informasi saja, Di tengah sanksi AS terhadap Iran, ekspor minyak mentah Iran pada November 2018 anjlok 1 juta barel per hari (bph) dari penjualan regular 2,5 juta bph pada April tahun lalu. Sebenarnya ekspor minyak Iran lebih tinggi dari perhitungan, jika minyak ringan sejenis kondensat ikut masuk dalam hitungan. Kpler, perusahaan intelejen di bidang energi menyebut, ekspor minyak mentah dan kondensat Iran mencapai 1,35 juta barel per hari pada Desember lalu.
Sentimen terakhir yang dinilai Dwi mampu menaikkan harga minyak yakni pelambatan ekonomi China. Pasalnya negara ekonomi terbesar ini diprediksikan mengalami pelambatan ekonomi menjadi 6% sampai 6,6% dibanding tahun lalu sebesar 6,7%.
Secara teknikal, Dwi melihat potensi penguatan harga masih ada. Indikator MACD masih menunjukkan penguatan. Di saat yang sama, indikator RSI belum memasuki wilayah jenuh beli. Dwi memperkirakan, rentang harga berada di level US$ 50,28 per barel hingga US$ 53,8 per barel dengan rekomendasi buy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News