Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak diperkirakan masih berada dalam tekanan pada tahun 2024 dan 2025. Pada periode tersebut, minyak harga WTI diperkirakan masing-masing berada di US$ 75 per barel dan US$ 65 per barel serta minyak Brent di level US$ 80 per barel dan US$ 70 per barel.
Tim riset Sinarmas Sekuritas berpandangan tekanan pada harga minyak akibat pengurangan produksi sukarela OPEC+. Selain itu, dikombinasikan dengan pertumbuhan permintaan minyak global yang lambat sehingga akan mendorong pasar minyak menjadi surplus pada akhir tahun 2025.
Pertemuan OPEC+ terakhir sepakat untuk memperpanjang pemangkasan 3,66 juta barel per hari (bph) selama satu tahun hingga akhir 2025 dan memperpanjang pemangkasan 2,2 juta bph selama tiga bulan hingga akhir September 2024. "Ini berarti OPEC+ secara bertahap akan menghapus pemotongan 2,2 juta bph selama setahun dari Oktober 2024 hingga September 2025," tulis Sinarmas Sekuritas dalam riset Senin (22/7).
Di sisi lain, pasokan minyak tambahan juga akan datang dari produsen non-OPEC+. Sebagai contoh, perpanjangan pipa Trans Mountain di Kanada dengan meningkatkan kapasitasnya menjadi 890.000 barel per hari dari 300.000 barel per hari.
Baca Juga: Harga Emas Naik di Tengah Harapan Pemangkasan Suku Bunga The Fed & Risiko Geopolitik
Secara keseluruhan, Sinarmas Sekuritas memperkirakan peningkatan 1,6 juta barel per hari dalam produksi dari produsen OPEC+ dan non-OPEC+ pada tahun 2025. "Ini lebih tinggi dari prediksi Badan Energi Internasional sebesar 980.000 barel per hari untuk pertumbuhan permintaan di tahun yang sama," papar tim analisa Sinarmas Sekuritas.
Meski begitu, harga minyak masih akan mengalami kenaikan di jangka pendek, yakni di kuartal III 2024. Sebab, melihat kebijakan dovish dari bank-bank sentral di seluruh dunia yang akan mendorong posisi spekulatif pada aset-aset berisiko seperti komoditas.
Sinarmas Sekuritas mencermati bahwa selama dua tahun terakhir, ayunan harga minyak memiliki korelasi positif dengan posisi spekulan. Pihaknya menemukan bahwa salah satu faktor yang mendorong posisi spekulan adalah ekspektasi suku bunga.
Baca Juga: Harga Minyak Menguat di Pagi Ini, Disokong Kekhawatiran Konflik Timur Tengah
Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi sering kali meningkat seiring dengan penurunan suku bunga, yang berdampak positif pada permintaan komoditas. Namun, perubahan kebijakan moneter membutuhkan waktu untuk memengaruhi permintaan komoditas aktual, sehingga efek langsung pada harga, terutama didorong oleh ekspektasi investor mengenai permintaan di masa mendatang.
Secara historis, Sinarmas Sekuritas melihat ketika suku bunga dipotong berulang kali maka harga komoditas riil umumnya menurun. Tren ini tidak mengherankan, mengingat tiga siklus penurunan suku bunga terakhir bertepatan dengan resesi AS-pandemi COVID-19 pada tahun 2020, krisis keuangan global dari 2008 hingga 2009, dan pecahnya gelembung dot-com pada tahun 2001.
"Pada masa-masa tersebut, permintaan komoditas menurun, prospek permintaan di masa depan terlihat suram, dan sebagian besar aset keuangan lainnya seperti ekuitas mengalami aksi jual yang signifikan," tutup tim riset Sinarmas Sekuritas.
Selanjutnya: Harga Cabai Rawit Naik, Kementan Sebut Akibat Kekeringan
Menarik Dibaca: Rayakan Ulang Tahun Ke-24, Hukumonline Hadirkan Acara Lari dan Akan Terus Berinovasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News