kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.505.000   -15.000   -0,99%
  • USD/IDR 16.295   -200,00   -1,24%
  • IDX 6.977   -130,64   -1,84%
  • KOMPAS100 1.042   -22,22   -2,09%
  • LQ45 818   -15,50   -1,86%
  • ISSI 213   -3,84   -1,77%
  • IDX30 417   -9,14   -2,14%
  • IDXHIDIV20 504   -9,85   -1,92%
  • IDX80 119   -2,45   -2,02%
  • IDXV30 125   -2,38   -1,87%
  • IDXQ30 139   -2,59   -1,83%

Harga Komoditas Logam Industri Diproyeksi Sulit Bangkit, Ini Alasannya


Senin, 24 Juli 2023 / 09:30 WIB
Harga Komoditas Logam Industri Diproyeksi Sulit Bangkit, Ini Alasannya
ILUSTRASI. harga komoditas logam industri masih sulit menguat


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga komoditas logam industri masih terbebani suramnya prospek perekonomian China. Sekalipun peluang dolar AS berpeluang melemah karena suku bunga Federal Reserve (The Fed) berpotensi turun di akhir tahun, hal itu masih belum mampu mengangkat harga komoditas.

Founder Traderindo.com Wahyu Triwibowo Laksono mengamati, banyak aset termasuk komoditas yang menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di akhir Juni karena didukung jeda kenaikan suku bunga The Fed. Hal itu menyusul inflasi yang anjlok, konsumsi melemah, bahkan pasar tenaga kerja mulai terdampak negatif kenaikan suku bunga.

Pada bulan Juli ini pun, pasar juga masih belum sepenuhnya yakin bakal ada kenaikan tingkat suku bunga AS. Meski hampir semua analis memperkirakan akan ada kenaikan suku bunga.

Oleh karena itu, Wahyu melihat, pasar mulai menduga peluang pemangkasan suku bunga di akhir tahun ataupun menjeda kenaikan suku bunga. Sehingga, USD akan cenderung melemah yang berpengaruh positif bagi harga komoditas.

Hanya saja, pelemahan dolar AS diimbangi ancaman resesi ringan Amerika Serikat seiring pernyataan Ketua Fed, Jerome Powell pada FOMC Juni lalu. Perlambatan ekonomi China juga masih menjadi beban bagi komoditas untuk ke depannya.

Baca Juga: Harga Komoditas Logam Industri Masih Tertekan Prospek Ekonomi China

“Secara umum, komoditas bakal rebound konsolidasi hingga akhir tahun ini. Masih sulit berharap bullish,” ungkap Wahyu saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (21/7).

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengamati, Timah berjangka mencapai level tertinggi 5 bulan di US$29.000 per ton dan lebih dari 60% di atas level terendah November 2022.

Pergerakan harga Timah didorong oleh adanya potensi gangguan pasokan di Myanmar. Hal itu seiring kebijakan yang diterapkan mulai awal bulan depan untuk semua aktivitas penambangan, termasuk eksplorasi dan pemrosesan akan dihentikan sementara di negara bagian Wa untuk melestarikan sumber daya yang tersisa di Myanmar.

Indonesia yang mengutamakan pengolahan dalam negeri dengan melarang ekspor timah Batangan turut menyumbang ketahanan harga. Dari sisi permintaan, penjualan semikonduktor global yang berfungsi sebagai proksi penggunaan solder timah, memang mencatat penurunan secara tahunan sebesar 21,1% di bulan Mei.

Sementara, Tembaga berjangka diperdagangkan di sekitar level US$ 3,85 per pon, tengah mencoba mendekati level tertinggi hampir tiga bulan di US$ 3,93 per pon yang disentuh pada 13 Juli 2023. Tembaga masih bergerak turun di tengah kekhawatiran pasokan yang terus-menerus, dan pasar terus memantau sinyal dari pemerintah China tentang langkah-langkah stimulus.

Sutopo menjelaskan, produksi tembaga di produsen utama Chili turun 14% setiap tahun di bulan Mei, di antara tanda-tanda terbaru bahwa penurunan pasokan global menandakan kekurangan di tengah penggunaan penting logam dalam transisi dunia ke sumber energi berkelanjutan.

Data tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa produksi di Chili mungkin turun lebih dari perkiraan Codelco sebesar 7%, sehingga memperpanjang penurunan dari tahun 2022.

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih lambat dari perkiraan di China turut memperpanjang kekhawatiran permintaan dari konsumen utama dunia. Hal ini menguatkan taruhan investor pada stimulus yang akan diberikan pemerintah China.

Selanjutnya, aluminium berjangka turun di bawah US$ 2.175 per ton, atau mendekati level terendah sejak September 2022 karena kuatnya pasokan bertepatan dengan meningkatnya kekhawatiran akan rendahnya permintaan.

Baca Juga: Industri Manufaktur Investasi Rp 270,3 Triliun di Semester I-2023

Sutopo mengatakan, output dari wilayah utama di China sebagai produsen utama dunia akan pulih karena pemulihan tenaga air mengurangi pembatasan listrik untuk peleburan penting di wilayah Yunnan. Para pelaku pasar memperkirakan aktivitas di kawasan ini akan kembali ke 50% dari kapasitas yang dibatasi pada bulan Agustus, sehingga mendukung penumpukan inventaris yang signifikan karena pasokan yang lebih tinggi tumpang tindih dengan hambatan ekonomi makro di China yang menekan permintaan.

Data dari bulan Mei menunjukkan bahwa impor aluminium ke China tumbuh 1,8% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Ini menunjukkan adanya gagal pulih secara signifikan dari pembatasan pandemi pada tahun 2022.

Harga Nikel berjangka justru melayang sekitar US$21.000 per ton, mundur dari level tertinggi hampir satu bulan di US$ 21.500 pero ton yang disentuh pada 12 Juli. Nikel anjlok di tengah melemahnya permintaan dan peningkatan produksi.

Sutopo berujar, kekhawatiran tengah menumpuk di China yang dapat membatasi ekspor mineral strategis ataupun membatasi produksi kendaraan listrik. Dengan demikian, permintaan yang turun menekan prospek nikel.

Kelompok Studi Nikel Internasional mengatakan pasar saat ini menghadapi surplus permintaan-pasokan nikel terbesar dalam setidaknya satu dekade, terutama karena output yang lebih tinggi dari Indonesia dan Filipina. Output Indonesia telah tumbuh menjadi 1,58 juta ton pada tahun lalu, terhitung hampir setengah dari stok dunia.

Baca Juga: Investasi Sektor Padat Modal Masih Mendominasi, Bahlil: Ini Jebakan Batman

“Secara garis besar, kenaikan harga komoditas akan didukung dan pulih jika pertumbuhan global membaik,” kata Sutopo kepada Kontan.co.id, Jumat (21/7).

Sutopo memperkirakan harga timah akan diperdagangkan pada kisaran US$ 32.000 hingga akhir tahun 2023. Tembaga diperkirakan akan diperdagangkan di kisaran harga US$ 4,25 per pon, Aluminium pada level harga US$ 2.100 per ton, sementara Nikel diperkirakan akan berada pada level harga US$ 24.500 per ton hingga akhir tahun ini.

Wahyu memproyeksikan harga tembaga LME akan diperdagangkan di kisaran US$ 11.000 per ton -US$ 12.000 sebagai level resistance. Support akan berada di kisaran US$ 6.000 per ton -US$ 8.000 per ton.

Selanjutnya, Aluminium diperkirakan bakal berada di level harga US$ 2.000 per ton – US$ 3.300 per ton di akhir tahun. Harga Timah diproyeksi berada di kisaran US$ 15.000 per ton – US$ 45.000 per ton, serta Nikel diperkirakan berada di kisaran harga US$22.000 per ton – US$ 25.000 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×